Cerbung : Karena Terbiasa (Part III)
Haiiii.. Masih penasaran dengan lanjutan cerbung karya Dyar Ayu? Kalau mau baca cerita sebelumnya bisa ke sini. Yuk, simak lanjutan cerita berikut ini.
Karena Terbiasa (Part III)
Karya : Dyar Ayu Budi Kusuma
Jadwalnya,
Mia tidak ke kampus setiap hari Selasa. Tapi hari ini terpaksa ke kampus untuk
mengikuti acara nonton bareng di klub film. Rencananya, para anggota akan
nonton film the philosophers.
Sekitar
15 anak duduk berjejer di sofa. Ada senior sampai maba, semua jadi satu duduk
di sofa itu. Begitu juga Arga dan Mia. Mereka duduk bersampingan. Dan Gandhi,
dia duduk di karpet bawah sambil sibuk membaca The Valley of Fear-nya Sherlock
Holmes. Dia hanya sesekali melirik ke Tv, seolah memastikan jalan cerita film
itu.
“Kak
Gandhi itu aneh ya? Yang lain sibuk nonton, eh dia malah asik baca Sherlock
Holmes.” Bisik Mia pada Arga.
“Dia
memang selalu seperti itu. Tapi jangan salah, dia selalu lebih banyak tau
tentang cerita film apapun yang kita lihat. Karena dialah yang pertama menonton
film-film itu. Memastikan bahwa tidak ada adegan yang tidak pantas untuk kita
lihat.” Jelas Arga. Mia hanya berseru pelan, “ohh..”
Menarik.
Yah, bagi Mia si Gandhi itu menarik. Cuek, misterius dan pendiam. Laki-laki
seperti apa yang menaiki motor ninja hitam, ke toko bakery sendirian dan suka
baca buku. Bagi Mia, beberapa klu itu belum bisa membuatnya berhenti untuk
ingin tau siapa seniornya itu.
Mia
adalah wanita berbadan kecil tapi jago makan banyak. Buktinya? Sepulangnya dari
menonton film, Mia mampir ke sebuah restoran. Mia memesan sepiring nasi liwet
dan ayam goreng, sepiring batagor dan segelas es teh manis. Porsi yang hebat.
Mia tidak mempedulikan pandangan wanita-wanita yang makan disekitarnya. Mungkin
ingin makan banyak seperti Mia, tapi takut gendut.
“Nggak
nyagka, kamu makan sebanyak itu..” terdengar suara pelan dari belakang punggung
Mia. Dan Mia menoleh. Gandhi berdiri tegak tersenyum kecil melihat Mia yang
sibuk makan itu.
“Kak..
kak Gandhi?” Mia buru-buru membersihkan bibirnya yang belepotan bumbu kacang.
“Kenapa?
Nggak usah sok kaget gitu deh. Lanjutin makannya,” Gandhi duduk di hadapan Mia
sambil membawa piring berisi nasi liwet dan ayam bakar.
“Maaf..”
kata Mia pelan.
“Buat
apa?” tanya Gandhi. Mia memberikan isyarat lewat caranya makan yang belepotan.
“Hahaha..
aku suka dengan wanita yang makan banyak. Tidak mempedulikan berat badan. Ayo,
lanjut makan.” Gandhi melahap santai makanannya. Mia juga cuek, tanpa sok jaim
makan makanannya sampai ludes tak bersisa.
“Kak
Gandhi, darimana?” tanya Mia basa-basi.
“Dari
kampus, lalu lapar.” Jawab Gandhi pelan. Tiba-tiba dia bangkit pergi, lalu tak
lama dia kembali sambil membawa gitar.
“Kurasa
ku tlah jatuh cinta Pada pandangan yang pertama Sulit bagiku untuk bisa
Berhenti mengagumi dirinya Seiring dengan berjalannya waktu Akhirnya kita
berdua bertemu Oh diriku tersipu malu Melihat sikapmu yang lucu Dan andai suatu
hari kau jadi milikku Tak akan kulepas dirimu, Kasih..” terdengar alunan pelan
nyanyian dari bibir Gandhi. Pandainya dia bermain gitar membuat Mia melongo.
Tiba-tiba
Gandhi bangkit. Lalu pergi meninggalkan Mia yang masih terpesona~
“Mia!” seseorang
menghambur kepelukan Mia. Itu adalah Divya, sahabat Mia yang melanjutkan
kuliahnya di Jogja sebagai calon guru olahraga.
“Divya, aku kangen
banget sama kamu! Kamu kok gemukan di Jogja?” Mia memandang sahabatnya itu dari
atas ke bawah, dari bawah ke atas.
“Iyalah, Mi. Di Jogja
mah banyak makanan enak cukup dengan bawa uang 20.000an” Mia dan Divya lalu
bergandengan tangan masuk ke sebuah mall. Tujuan mereka adalah ke salah satu
food court kesukaan mereka yang menjual mie ramen dan aneka makanan jepang.
“Apa kabar Mami?” tanya
Divya. Divya sangat dekat dengan Mami Mia, bahkan lebih dekat dengan Divya
kalau sudah ngomongin alat make up dan mode fashion terbaru.
“Masih sama. Masih sama
nyuruh-nyuruh aku pake bedak, masih sama nyuruh-nyuruh aku cari pacar, dan masih
sama nggak bisa bikin cake.” Kata Mia sambil memutar mola matanya.
“Kamu sih, Mi. Susah
banget cumah suruh pake bedak. Nanti..”
“Stop! Stop kalau kamu
mau ceramah panjang lebar tentang bedak. Nggak peduli aku mah.” Potong Mia
cepat sebelum Divya seperti Maminya, ceramah masalah make up.
“Ok,ok. Kita bahas
masalah lain. Cowo gimana? Udah gak jomblo dong pasti, ya?”
“Divya, kehidupan itu
nggak selalu tentang masalah cowo, kan? Yang lain deh,” Divya pasrah mencari bahan omongan lain dengan Mia yang
terlanjur bad mood. Dengan santai dia makan corn ramen kesukaanya dan
mendiamkan Mia sibuk melahap seporsi chicken teriyaki dan beef teriyaki.
“Mia? Nggak nyangka
ketemu kamu disini. Sama siapa?” tiba-tiba sosok Arga muncul sambil menenteng
banyak tas belanjaan. Di sampingnya berdiri wanita tengah baya yang cantik dan
terlihat berkharisma.
“Eh, Arga. Aku kesini
sama sahabatku, kenalin ini Divya..” Divya dan Arga saling bersalaman. “Kamu
sendiri sama siapa?”
“Oh, ini sama Ibu. Bu,
kenalin ini junior di kampus. Mia namanya, terus ini Divya sahabatnya Mia.” Wanita
tengah baya yang ternyata Ibu Arga menyalami Mia dan Divya bergantian.
“Ini toh yang namanya
Mia? Cantik beneran ternyata,” kata Ibu Arga sambil mengelus pipi Mia. “Arga
sering cerita sama Ibu kalau naksir sama nak..”
“Bu, jangan bongkar
rahasia Arga dong! Yaudah ya, Mi. Aku sama Ibu pulang dulu ya? Kamu hati-hati,”
sekali lagi mereka saling bersalaman lalu Arga dan ibunya pergi. Dari kejauhan
Mia bisa melihat keakraban Arga dengan Ibunya.
“Mi.. kamu berpikiran
sama kaya aku nggak?” tanya Divya pelan.
“Apa?”
“Senior kamu cakep
banget,”
“Terus?”
“Hati kamu mati ya, Mi?
kayanya dia naksir kamu deh, kamu denger nggak tadi Ibunya bilang apaan sebelum
si Arga itu motong omongannya? Kamu harus pepet Arga terus, Mi!”
“Pepet? Emangny Arga apaan?
Truk gandeng?”
“Jangan bercanda, ah.
Kamu udah kencan kemana aja sama Arga? Kayanya kalian udah akrab banget deh,
Mi.”
“Kencan? Dia itu ketua
klub film yang aku ikuti di kampus, ya layaknya kaya senior dan junior. Dia pernah
ngajakin makan bakso di kantin, dan.. Div, kalau misal ada seorang cowo dateng
kerumah, akrab sama Mami dan ngajakin aku buat choco chip di sebuah toko bakery
itu namanya kencan ya?”
“Nah! Nah itu namanya
kencan, Mi! Dan.. astaga! Dia udah kenalan sama Mami? Gentle banget cowo itu,
Mi.”
“Terus aku harus
gimana, Div? Kamu tau sendiri kan aku belum pernah pacaran,”
“Iyalah aku tau, dan..
Ikut aku!” Divya menyambar tangan Mia ke kasir dan mengajaknya ke sebuah salon
terbaik di mall itu. Niatnya, merombak penampilan Mia.
Jangan lupa beri komentar yang membangun, ya ^^
Komentar
Posting Komentar
Berkatalah yang baik atau diam.