Ketika Tiba Pada Pertanyaan "Kapan Nikah?"

Tahun ini usia menginjak seperempat abad. Sebagai perempuan Jawa yang masih tinggal di Indonesia, pertanyaan (atau sebaiknya disebut desakan?) untuk melangkah ke standar kehidupan berikutnya menurut masyarakat semakin santer.

Sudah rampung sarjana, pekerjaan ada, terus kapan nikahnya? Begitu yang mereka tanyakan.

Terbiasa ngeyel dan menahan diri untuk nggak baperan, tentu aku berusaha untuk nggak kepancing dan berpikir dengan waras kapan sebaiknya jenjang itu dimulai dan dengan siapa memulainya.

Apalagi paparan media sosial tiap hari adaaaa aja thread viral yang bahas KDRT, perceraian, hubungan toxic, sampai keluarga pasangan yang ramashook yang semakin bikin diri ini worry dan skeptis sama pernikahan.

Tapi, di samping itu juga banyak postingan media sosial yang edukatif seputar marriage life. Soal gimana ngobrolin pernikahan sama calon pasangan sebelum menikah, apa aja yang perlu diobrolin, gimana ngatur keuangan setelah menikah, apakah nunda program kehamilan itu wajar, sampai gimana merawat hubungan biar langgeng dan menyerupai cerita dongeng: happily ever after.

Sebagian orang menganggap semua orang termasuk dirinya akan ikut jalur mainstream: selesai studi, bekerja, menikah, punya anak, bahagia selamanya. Tidak masalah. Problemnya, ketika ada orang selain dirinya yang mengambil jalur antimainstream, pilihan itu dipertanyakan karena dianggap tidak sesuai dengan kewajaran umum, dan parahnya dirujak dan dirundung karena dianggap tidak memenuhi kodrat.

Terlepas dari itu semua, sebaiknya kita fokus pada pilihan hidup masing-masing dan menghargai pilihan orang lain. Bahkan yang terpenting, kalau kamu mau menikah, persiapkan rencana pernikahan dan kehidupan setelah akad-mu dengan baik, ketimbang menyinyiri orang lain yang berbeda pilihan denganmu.

Baru-baru ini, aku baca buku yang membuatku menjadikannya standar materi konseling pranikah. Aku belum pernah ikut konseling pranikah sebelumnya, tapi setelah baca buku itu, jadi berharap apa yang dituliskan di sana bisa dibahas di kantor KUA kecamatan saat konseling pranikah. Buku itu judulnya "Life as Divorcee" karya Virly K.A. terbitan EA Books tahun 2021.

Buku berjudul "Live as Divorcee" karya Virly K.A terbitan EA Books tahun 2021.

Tertulis di sana satu paragraf yang kuharap bisa dipahami betul oleh kalangan remaja dan dewasa muda di lingkungan sekitarku supaya dikit-dikit nggak pengen rabi. Begini paragrafnya.

"Begini, menikah itu bukan ending, melainkan justru baru prolog. Kalau di cerita dongeng, setelah menikah they live happily ever after lalu the end. Di kehidupan nyata, setelah upacara pernikahan ada miliaran adegan lagi. Membersihkan sisa acara, membayar wedding organizer, mengangkat lemari, mencuci piring, mengepel lantai, menjenguk tetangga, morning sickness, melahirkan anak, menenangkan anak yang menangis, membersihkan pup anak padahal sarapan belum selesai, membayar cicilan rumah, kehilangan salah satu sumber penghasilan karena ada pandemi, dan lain-lain. Sama sekali bukan ending."

Setelah membaca paragraf yang tertulis di halaman 35 buku itu, aku jadi menyadari bahwa memilih the one, pasangan yang akan kita ajak untuk menjalankan ribuan adegan kelanjutan pasca-akad itu sangat penting dan nggak bisa asal-asalan. Jangan-jangan pasangan kamu nggak bisa diajak bayar cicilan rumah karena sejak pacaran kalian nggak bahas gimana caranya ngatur duit. Atau bahkan kamu sendiri yang ternyata nggak sesiap itu merawat anak dan pengennya selalu dibantu ibumu, sementara kalian tinggal terpisah dari orang tua. Semua persoalan itu nggak selesai dengan cinta doang.

Aku merasa cukup beruntung dua tahun terakhir terpapar influencers di media sosial yang bahas pre-marriage talks. Sebelum nikah, penting banget bahas visi masing-masing, pandangan hidup, prinsip, dan cita-cita. Di buku ini, ada enam poin soal pre-marriage talks yang minimal banget dibahas sebelum nikah, karena sebenarnya bisa lebih dari itu. Tapi setidak-tidaknya, enam poin itu sudah yang paling krusial. Keenam poinnya adalah.

  1. Soal hidup dan prinsip
  2. Visi dan impian
  3. Soal anak
  4. Diskusi finansial
  5. Perceraian
  6. Sex stuffs
Kalau ingin tahu penjelasannya, bisa baca buku ini atau baca sumber yang lain karena topik ini udah jadi bahasan umum. Tapi yang paling penting dari kesemua poin itu adalah kamu nyaman bahas semua poin itu sama pasanganmu, karena kalau enggak nyaman ya nggak bakalan bisa dibahas.

Nggak cuma pada diri sendiri, aku berharap besar semua teman-temanku dan banyak orang di luar sana mulai terbuka untuk mempersiapkan pernikahan dengan matang dan nggak asal-asalan. Menikah tanpa mengetahui karakter calon pasanganmu hanya akan memperbesar kemungkinan terjebak toxic relationship, KDRT, bahkan perceraian.

Apalagi kalau pernikahan itu dimulai dengan kondisi hamil duluan. Problematis banget.

Di buku ini juga ada satu subbab khusus yang menjelaskan perkara hamil di luar nikah. Mbak Virly menulis, hamil itu bukan alasan untuk memulai pernikahan. Kenapa? Karena pernikahan yang direncanakan saja masih bisa menghadapi risiko pernikahannya ambyar dan bercerai. Apalagi pernikahan yang dipercepat atau bahkan dipaksakan.

Aku nggak mengharuskan orang-orang yang hamil duluan untuk langsung menikahi partnermu. Pikirkan baik-baik, apakah dia orang yang tepat untuk diajak membesarkan anak. Risiko terbesar dari kejadian ini tentu jatuh di pihak perempuan. Saranku, sebelum kejadian, hindari kemungkinan itu sebisa mungkin.

Selama ini aku sangat mengantisipasi hamil di luar nikah. Karena, mayoritas pasangan yang hamil duluan ya akan dipaksa segera menikah. Masalahnya, apakah kamu sudah siap fisik, psikis, dan materi untuk hidup dalam sebuah pernikahan? Pertanyaan ini kuajukan tidak hanya pada kamu sebagai perempuan, tetapi juga pada partnermu yang tentu kamu harapkan bisa bertanggung jawab, minimal atas biaya hidup si bayi. Jika belum, ada baiknya hindari potensi ke arah sana.

Kehidupan pernikahan yang enggak dipersiapkan dengan baik semacam ini bagiku hanya akan menambah runyam permasalahan hidup. Nggak cuma mempengaruhi sepasang sejoli itu, tapi juga masa depan anak, kondisi finansial, keluarga besar, dan banyak lainnya. Nggak jarang bayi yang lahir itu justru diasuh kakek-neneknya karena orangtuanya harus banting tulang memenuhi kebutuhan hidup yang diakselerasi karena kondisi. Padahal seharusnya tumbuh kembang anak diawasi betul oleh kedua orangtuanya. Kondisinya tidak ideal sekali memang, maka alangkah baiknya dicegah ya, teman-teman.

Pada akhirnya, kita memang nggak tahu rencana Tuhan akan membawa kita pada kondisi seperti apa untuk kehidupan pernikahan. Tapi setelah selesai membaca ini, tentu aku harap kalian semua jadi sadar bahwa rabi ki ora gampang, buos. Daripada banyak tanya kapan nikah, kapan nyusul, mending membangun edukasi satu sama lain tentang gimana mewujudkan pernikahan yang minim risiko.

Komentar

Postingan Populer