Buang Sampah Pada Tempatnya Itu Nggak Cukup

Sejak sekolah dasar, kita pasti udah nggak asing lagi sama poster-poster imbauan membuang sampah pada tempatnya. Aku inget banget setiap ada tugas sekolah atau bahkan lomba poster yang salah satunya terdiri dari tema lingkungan, hasil akhirnya pasti poster "cintai bumi dengan buang sampah pada tempatnya", "stop global warming", dan segala hal yang bernada serupa.

Semakin dewasa, aku semakin menyadari bahwa poster-poster itu nggak berhasil memberi pengaruh besar terhadap perilaku manusia untuk cinta lingkungan.
Sebab, pesan-pesan itu nggak pernah benar-benar bisa masuk ke relung hati kita. Kampanye yang menyertainya nggak pernah populer. Apalagi ditambah dengan kebiasaan pragmatis masyarakat kita yang pengen serba cepat dan mudah. Penemuan tentang plastik bisa jadi merupakan penemuan paling luar biasa yang pernah ada. Berkat plastik, kita bisa ngebungkus makanan take away dengan mudah, nggak bocor, dan nggak makan tempat kayak rantang.

Sampai rumah, kita akan memindahkan makanan kita itu ke piring atau wadah lain. Bungkusnya? Tentu aja kita lempar ke tempat sampah. Kita merasa selesai buang sampah di situ. Padahal enggak.

Sampah rumah tangga kita akan diangkut tukang sampah besok pagi. Dengan gerobak sampahnya, mereka akan bawa bergunung-gunung sampah komplek ke tempat pembuangan sampah. Di sini, truk kuning udah nungguin buat nyalurin sampah ini ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST).

Sampah menumpuk di belakang Pasar Kranggan, Yogyakarta, Selasa, 26 Maret 2019 (foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Setelah dibawa ke TPST, apakah sampah-sampah itu akan 'diolah' seperti nama tempatnya? Oh, tentu tidak. Sampah-sampah hanya ditumpuk dan terus ditumpuk sampai berhektar-hektar. Kayaknya TPST itu kepanjangan yang sebenernya adalah Tempat Pembuangan Sampah Terpadu.

Apa yang terjadi kalau sampah yang dibawa ke TPST ditumpuk aja? Ya, makin banyak. Yang udah ada, nggak diolah. Yang ada, kuantitasnya bertambah setiap hari. Greenpeace pernah merilis data yang bilang bahwa setiap tahun, produksi sampah di Indonesia mencapai 65 juta ton. Iya, kamu nggak salah baca. Itu baru sampah di Indonesia aja. Belum di negara lain.

Dari 65 juta ton sampah tahunan itu, 16 persennya atau sekitar 10,4 juta ton merupakan sampah plastik. Padahal, sampah plastik itu butuh waktu lama lho buat terurai, bisa sampai 500 tahun lamanya. Mau kamu reinkarnasi sampai 5 kali pun, plastiknya mungkin masih ada.

Akan tetapi, pelan-pelan, isu lingkungan memang lagi dibahas oleh berbagai kalangan. Regulasi tentang pengurangan produksi sampah di Indonesia jadi bahan kampanye yang digaungkan banyak orang. Mulai dari jurnalis, aktivis, juga sampai menteri. Yang terakhir emang perlu banget sih buat sering-sering bahas ini, supaya penanganannya lebih efektif kalau udah ada regulasinya.

Salah satunya yang disampaikan oleh Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan & Perikanan. Melalui akun twitternya, beliau membagikan ulang video kura-kura yang tersiksa karena hidungnya kemasukan sedotan plastik. Video ini sebenarnya bukan video baru dan sudah beberapa kali wara-wiri di internet. Tapi, kalau yang ngeshare udah menteri, kita tentu patut optimis dong bakal ada kebijakan lanjutannya.

Jujur aja, nonton video itu berasa ngilu banget. Bayangin aja organ tubuh kita kemasukan benda asing. Kalau manusia mah enak, bisa ngeluarin sendiri atau jalan ke dokter. Lha, kalau kura-kura? Berkat video ini, bahkan ada temenku yang mulai sadar akan penggunaan sedotan plastik sekali pakai dan dia memilih untuk coba beralih ke sedotan reusable.

Terlepas dari pro dan kontra yang menyertai sedotan reusable, aku sangat mendukung orang-orang yang mau mencoba stop menggunakan sedotan plastik sekali pakai. Kalau nggak, ya udah sih minum aja langsung dari gelasnya. Toh, dari dulu kita emang diajarin begitu.

Bicara topik sampah itu nggak ada habisnya. Sampah yang jadi masalah juga nggak cuma berbahan plastik. Akan tetapi, bahan inilah yang kurasa paling mudah kita pertimbangkan untuk nggak kita gunakan sering-sering. Kalau ada opsi nggak pakai pembungkus plastik, coba usahakan opsi itu. Misalnya, kalau belanja ke pasar, kita coba bawa tas belanja sendiri. Kalau beli batagor, kita coba bawa wadah makan dari rumah.

Ribet? Tentu saja iya. Tapi, kamu harus coba gimana rasanya belanja tanpa menghasilkan sampah. Beli batagor pakai wadah sendiri, artinya kamu nggak harus buang sampah plastiknya. Ada kebahagiaan tersendiri kalau kamu bisa melakukan sesuatu tanpa ninggalin residu. Harus cuci piring? Ya ampun, jangan males-males amat deh.

Soalnya, kalau kamu nih misal tetap ngeyel beli batagor pakai plastik dari abangnya, setelah batagornya habis, kan pasti kamu akan buang dia ke tempat sampah karena kondisinya udah kotor kena saus dan segala macam. Padahal plastik itu ketika kita buang ke tempat sampah paling akhir pun, dia nggak pernah benar-benar hilang. Plastik itu masih ada, nunggu beratus-ratus tahun untuk terurai sendiri.

Coba kamu ingat-ingat dulu pelajaran waktu sekolah dasar tentang pengolahan sampah. Cara pengolahan sampah yaitu 3R: Reduce, Reuse, Recycle. Selama ini, kita selalu terpaku untuk selalu daur ulang. Padahal nggak semua sampah bisa didaur ulang. Kita lupa, bahwa tahap pertama 3R itu reduce yang artinya mengurangi produksi sampah. Kalau ngurangin udah susah banget, baru tuh pakai ulang dengan reuse. Kalau masih susah lagi, baru deh recycle. Belum juga reduce, kita udah buru-buru pengen recycle.

Lagi-lagi, buang sampah pada tempatnya seperti yang digaungkan sejak SD itu udah nggak cukup lagi. Pelan-pelan, kita harus mengurangi produksi sampah yang ada. Karena kita tahu bahwa masih belum ada regulasi dan sistem yang bagus dalam pengolahan sampah, ada baiknya mending kita kurangin dulu produksi sampah yang ada. Emangnya mau lama-lama rumah kita kegusur sama kebutuhan tempat pembuangan sampah yang makin besar?

Komentar

Postingan Populer