Belajar Bijak Beli Baju

Berapa kali kamu beli baju baru dalam satu tahun? Sebulan sekali? Tiap semester baru? Atau, tiap lebaran aja?

Buat kamu yang udah menginjak dewasa dan berat badannya segitu-gitu aja, punya baju yang size-nya juga segitu-gitu aja kadang dirasa nggak masalah. Tapi, kenapa sih kita selalu pengen punya baju baru, padahal baju lama pun masih muat?

Mode adalah faktornya. Nggak dipungkiri, kalau tren pakaian tiap tahun itu berubah. Kenapa bisa berubah? Kamu bisa baca penjelasannya di sini. Buat perempuan aja, tren fesyen tahun 2018 bisa berubah di tahun 2019. Tahun 2018 kemarin, warna pastel mendominasi desain-desain pakaian. Memasuki tahun 2019, tren warnanya bergeser ke earth tone bahkan neon.

Hal ini membuat kita seolah-olah merasa perlu untuk selalu mengikuti tren fesyen dengan beli baju baru, model baru, motif baru, bahkan warna baru. Baju-baju yang kelewat 'berbeda' modelnya dan nggak begitu tren di tahun berikutnya bakal pelan-pelan kamu tinggalin. Udah jadul, katamu. Eh, rupanya tahun 2019 ini, banyak baju vintage yang naik daun lagi dan dipakai anak-anak muda. Hal ini akan terus-menerus berulang sampai kamu mulai menyadari, kok lemariku udah penuh? Aku mau beli lemari baru! Tapi, nggak punya duit.

Baju Lama Rasa Baru

Aku menemui fenomena itu sejak kuartal pertama 2019. Aku kalau beli baju yang terencana itu, cuma menjelang lebaran aja. Sisanya? Nggak terencana. Lihat yang lucu dikit di online shop, langsung pengen checkout. Ke pasar tiban nemu barang murah, langsung pengen bungkus. Padahal, kadang cuma lapar mata aja. Akhirnya, pas dibawa pulang, kok lemariku udah nggak muat?

Waktu itu, lagi booming banget sama tren minimalism dan metode Konmari. Akhirnya aku baca-baca dikit tentang itu. Terlebih tentang sustainability fashion. Dan pas banget! Waktu itu di Jogja ada event Tukar Baju yang diinisiasi oleh Zero Waste Indonesia.

Event Tukar Baju #1 di Jogja waktu itu terselenggara waktu bulan puasa. Pas banget momennya ketika orang-orang (khususnya perempuan) lagi kepengen baju baru buat lebaran. Melalui acara itu, Zero Waste Indonesia ingin mengkampanyekan ke masyarakat buat lebih sadar akan limbah pakaian dengan tidak terlalu sering beli baju baru. Sebagai gantinya, biar kita-kita tetap punya baju 'baru', komunitas ini mengajak kita untuk saling bertukar baju di acara Tukar Baju. Jadi, Tukar Baju akan membuat event satu hari untuk setiap orang bisa menukar bajunya satu sama lain. Untuk stok, Tukar Baju juga sudah menerima baju donasi sebelumnya.

Bagi sebagian orang, mungkin bertukar baju dengan orang lain itu agak kurang nyaman. Tapi, ada sebagian lain yang nggak masalah asal baju yang ditukar itu udah dicuci bersih. Nah, berangkat dari aturan itu, Tukar Baju secara ketat menyeleksi baju-baju yang mau ditukar dengan banyak syarat. Mulai dari nggak boleh rusak, masih layak pakai, bersih mulus tanpa noda, kancingnya nggak hilang, dan modelnya nggak jadul-jadul amat. Dari sini, yang mau tukeran baju tentunya jadi yakin bahwa kita bisa dapet tukeran baju yang benar-benar oke. Untuk itu, yang mau nuker baju juga harus bawa baju yang oke juga dong! Simbiosis mutualisme-lah. Kalau kamu mau dapat yang baik, kamu juga harus memberi yang baik.

Sebelum ikut Tukar Baju, tentu aku pilihin dulu baju mana yang mau aku relakan. Dari situ, aku sadar bahwa baju yang kupakai sehari-hari sebenarnya itu-itu aja. Bahkan, baju baruku berpotensi besar cuma kupakai sekali setahun. Akhirnya, aku memutuskan untuk ikut metode Konmari buat pilah-pilah baju mana yang masih sparks joy dan mana yang udah enggak.

Dalam memilah baju, aku pisahkan dulu baju sesuai jenisnya, misal kemeja, celana, rok, kaos, dan sebagainya. Setelah itu, aku cek masih muat apa nggak, modelnya bakal aku pakai lagi nggak di masa depan,sebenernya aku senang nggak sih sama bahannya, dan seberapa sering aku akan pakai baju itu. Setelah berpikir matang-matang, aku akhirnya bawa sekitar 7 baju ke Tukar Baju.

Tukar Baju #1 di Antologi Space, Yogyakarta.
Di Tukar Baju, peraturannya adalah kamu maksimal hanya bisa menukar 5 baju saja. Tapi, aku bawa sekitar 7 baju supaya kalau ada yang nggak lolos kurasi, bakal ada cadangannya. Sayang sekali saudara-saudaraaa.. bajuku cuma lolos 3. Baiklah.

Begitu masuk ke acara Tukar Bajunya, waduhhh itu kayak surga aja deh, banyak baju-baju lucu. Kapan lagi kamu bisa pilih baju 'baru' tapi nggak keluar duit? Syaratnya cuma nukar baju aja. Kupikir ini adalah cara yang cukup adil bagi banyak pihak: bagiku, dompetku, lemariku, lingkunganku (karena meminimalisir produksi baju kan?), dan tentu saja orang lain yang nantinya akan tukeran baju denganku.

Sepulang dari kegiatan itu, aku memulai ikhtiar yang baru. Kalau mau punya baju baru, harus ada baju yang kuikhlaskan keluar dari lemariku: mau ditukar, dijual, atau didonasiin. Dengan cara ini, aku berharap bisa lebih bijak dalam beli baju baru dan muatan lemari pun nggak membludak.

Daur Ulang Baju

Agaknya aku beruntung karena bapakku berprofesi sebagai penjahit. Jadi, aku bisa sedikit tidak terpapar tren fast fashion. Asyiknya lagi, kalau aku bosan dengan baju model tertentu, aku bisa minta bapak untuk mengubahnya sedikit. Misalnya, aku punya baju yang berkerut di pinggang, tapi lama-lama aku kepengen kerutnya dihilangkan. Aku bisa minta bapak untuk menghilangkan kerutnya. Kalau kamu mbatin kenapa aku nggak melakukannya sendiri, iya-iya aku masih belum lancar menjahit.

Daur ulang baju paling oke yang pernah kulakukan menurutku adalah mengubah pasmina jadi baju. Ini sebenarnya ide ibuku. Jadi kami memang punya beberapa pasmina yang udah jarang banget dipake, karena lama kelamaan pengen pakai jilbab yang simpel aja. Nah, kebetulan banget, motif di pasminanya itu unik dan cocok kalau jadi atasan. Akhirnya, ibu dan aku jelasin ke bapak step by step mengubah pasmina lebar itu jadi baju. Simpel banget sebenernya, kapan-kapan aku buat tulisan baru aja untuk penjelasannya. Soalnya, bener-bener butuh digunting dan dijahit, meskipun sederhana aja.

Jadinya kayak begini. Kuharap kamu yang baca sementara bisa bayangin before and after-nya ya hahaha.


Begitu aku lihat-lihat baju di toko, mall, dan internet, rupanya model begini udah sering banget digunain para perancang busana. Soalnya, simpel banget sih. Selembar kain tinggal dibolong tengahnya lalu dijahit sedikit di kedua sisinya. Kalo kainnya pas bagus, bisa jadi baju yang cantik banget.

Menunggu Tukar Baju Selanjutnya

Di Jogja, event Tukar Baju udah diadain dua kali. Pada kesempatan kedua, aku bisa lolos 5 baju! Senangnya! Selain bawa baju buat ditukar, aku juga bawa baju buat didonasiin. Soalnya, aku udah bener-bener pilah dan pilih baju-bajuku dan nemu beberapa baju yang kayaknya nggak bakal kupakai lagi. Daripada menuh-menuhin lemari doang, nggak ada salahnya baju-baju itu kudonasiin supaya bisa disalurkan ke pihak yang lebih membutuhkan. Toh, masih layak pakai.

Selain menyelenggarakan event secara periodikal di berbagai kota, sebenarnya Tukar Baju punya cita-cita untuk mendirikan pop-up store-nya sendiri. Jadi, kita yang mau tukaran baju, nggak perlu nunggu event. Sumpah, aku nggak sabar banget nunggu hal itu tercapai! Soalnya, selain bisa menghemat biaya beli baju, kita bisa meminimalisir efek buruk produksi pakaian ke lingkungan, dan juga bisa mengurangi eksploitasi terhadap buruh fast fashion. Selain itu, kita juga bisa menekan sifat konsumerisme.

Dari sini kita pasti akan lebih aware terhadap sekeliling kita, karena beli baju baru itu nggak sesederhana kita punya duit cukup apa nggak. Ada proses panjang yang menyertai sejak kapas dipintal jadi benang sampai hadir di toko-toko pakaian favoritmu. Dengan menyadari setiap prosesnya, kita tetap bisa merasa punya baju 'baru' dengan cara yang lebih bijak. Let's start this sustainable fashion movement!


Komentar

Postingan Populer