Seminggu Kepanasan di Pulau Garam

Apa yang kalian pikirkan kalau mendengar tentang Pulau Madura?

Apakah pria yang memakai ikat kepala dengan baju berlorek merah-putih? Atau sate dengan bumbu kacang? Atau sapi kerap yang berlarian di tengah lapangan?

Kalian boleh-boleh saja hanya berpikiran seputar itu, namun sejatinya Madura lebih dari itu.


Saya bersama teman-teman satu kelas Jurnalistik 2015 bertandang ke Pulau Madura pada 16 Oktober 2018. Tepat dua bulan lalu, tanggal 23, saya kembali ke Yogyakarta. Biar pas aja gitu, terus disebut. Kami berdua-puluh-tiga dengan seorang dosen kami nggak liburan, tapi sedang dalam proses mata kuliah Produksi Media Cetak.

Mata kuliah ini memang selalu memberi kesempatan pada mahasiswa Jurnalistik semester tujuh untuk menentukan destinasi di luar Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai lokasi liputan. Selama kurang lebih seminggu di kota piliha tersebut, kami harus bisa liputan segala macam hal, yang tentu saja udah disiapkan dari proses pra-reportase. Namun, seringkali sih liputannya salah sasaran. Hehe.. Lha piye, pra-reportase cuma berdasar riset internet. Yang bisa kami lakukan hanyalah legowo dan bisa mikir cepet opsi liputan lainnya. Jadi, harus tetap liputan? Ya, iyalah bosque. Soalnya, produksi media yang kami lakukan ini media cetak berupa majalah. Kebayang nggak sih, satu majalah itu nanti isinya harus sangat beragam dari hasil liputan kami yang cuma satu minggu doang dan nggak bisa diulang? Hadeh, mumet.

Sebelum berangkat, sebenarnya kami sudah dibuat sangat mumet dengan polah agen travel yang tadinya mau bantu kami selama di sana. Akhirnya untuk mengatasi segala kesulitan itu, dosen saya minta bantuan saudaranya yang tinggal di Madura untuk dibantu cari penginapan dan tempat makan. Syukur, saudaranya baik banget, jadi sangat terbantu selama di sana.

Oh iya, jadi sebelum berangkat, seluruh mahasiswa di kelas Jurnalistik ini sudah dibagi ke dalam lima kelompok. Kelompok saya berisi lima orang doang, paling sedikit daripada yang lain. Lalu, kami kan riset dulu tuh mau ngangkat Madura dari sisi apanya. Akhirnya, karena kelompok saya didominasi oleh perempuan dan temuan riset di internet lebih banyak hal yang menarik dari sisi perempuan, diputuskanlah tema majalah kelompok saya yaitu perempuan. Kami udah mendata apa-apa aja yang akan kami liput dari ujung barat Bangkalan sampai ujung timur Pamekasan.

Hari pertama keberangkatan kami dari Yogya itu pakai Kereta Api Sancaka. Naik dari Stasiun Tugu sekitar setengah tujuh pagi. Sudah bisa ditebak, sepanjang lima jam perjalanan itu kami isi dengan tidur. Mahasiswa mana yang kuat bangun pagi yekan?

Sesampainya di Surabaya, kami udah ditunggu kru agen dengan bus pariwisata, lupa deh namanya apa. Bus itulah yang mengantar kami selama seminggu di sana. Udah jadi rumah kedua deh kayaknya, selain penginapan yang cuma buat tidur sama mandi doang.

Dari Stasiun Gubeng, kami langsung cuss ke Madura karena udah janjian sama Radar Madura untuk kunjungan redaksi. Kami lewat Jembatan Suramadu, nggak naik kapal feri. Sebagai orang yang belum pernah ke Madura, jelas seneng banget dong ya bisa melewati jembatan sepanjang enam kilometer ini. Ternyata begini rasanya lewat Suramadu!!

Sesampai di Madura, kesan yang pertama akan kita dapatkan ialah panas banget.

Panasnya itu ya, 24 jam nonstop. Malam hari itu nggak ada dingin-dinginnya. Habis subuh pun udaranya tuh anget. Kalau pas siang hari kedapetan liputan di lapangan atau pinggir pantai, udah deh tuh kaos pada basah berkat keringet yang netes berliter-liter.

Oh iya, balik ke destinasi pertama sesampainya kami di Madura. Jadi, kami ke Radar Madura dulu. Media lokal milik Jawa Pos Grup ini jadi tujuan kunjungan redaksi kami, setelah sebelumnya gagal reservasi ke Jawa Pos di Surabaya, soalnya jadwal kunjungan mereka udah penuh. But it's okay. Di Radar Madura, kami kenalan sama tim redaksi mereka, sharing tentang mekanisme kerja yang dilakukan media ini, dan ngerecokin ngelihat layouter dan editornya lagi kerja. Dari situ, kami juga cari-cari bahan tuh buat tambahan liputan hehehe

Selepas menghabiskan suguhan rengginang lorjuk dan kacang di Radar Madura, kami lanjut liputan ke Pelabuhan Kamal. Di sini, kita bisa ke dermaga tempat kapal-kapal feri berlabuh menjemput dan mengantar penumpang dari dan ke Surabaya. Menurut cerita para penjual di sekitar situ, pelabuhan ini udah makin sepi karena orang Madura lebih milih nyeberang lewat Jembatan Suramadu ketimbang naik kapal dari Bangkalan. Sayang banget, padahal sunset-nya bagus gilak :))

Salah satu kapal yang menepi di Pelabuhan Kamal. (Foto: Lajeng)


Sehabis puas motret sunset yang ciamik ini, beberapa dari kita memutuskan untuk beli makan karena siangnya nggak sempat makan pas ngejar waktu ke Radar Madura. Maaf teman-teman, saya emang tega ngebiarin anak orang kelaparan :') Tapi, pada akhirnya banyak yang jajan di Pelabuhan Kamal. Saya sendiri memutuskan beli sate. Sate asli di tanah Madura, cak! Gimana ya, rasanya? Sebelum sempat dimakan, bus udah mau berangkat aja ke destinasi selanjutnya. Bhaiq, kubungkus satenya.

Selepas Magrib kita lanjut perjalanan ke Kabupaten Sumenep. Oh iya, Pelabuhan Kamal itu letaknya di Kabupaten Bangkalan, yang ada di sisi terbarat Madura, sedangkan Sumenep itu di sisi timur Madura. Yang bikin rute perjalanan emang nggak paham medan, nggak tahu itu harus ditempuh selama empat jam lebih :) But it's okay. Kami bisa-bisa aja tidur di dalem bus. Sebelum sampai di penginapan di Sumenep, kami mampir makan malam beneran di Pamekasan. Oleh supir bus, kami diturunin di sentra kuliner-nya Pamekasan gitu. Jadi sepanjang jalan itu isinya tenda kakilima, tinggal pilih mau sate, bakmi, martabak, dll. Akhirnya aku ngikut teman-teman aja sambil makan sate dari Bangkalan. Ternyata, sate di Madura lebih kecil ukurannya daripada di Yogya. Tapi, bumbunya lebih enaaaa, lebih halus gitu. Selesai makan sambil ngantuk, kami lanjut ke Sumenep. Untungnya, penginapan di sini nyaman banget. Ciamik betul saudara dosen saya milihinnya :)

Hari berikutnya, kami memulai reportase dengan mengunjungi Keraton Sumenep, destinasi wajib kalo ke kabupaten satu ini. Di sana, selain bisa melihat peninggalan kerajaan, kami beruntung banget bertepatan dengan agenda Visit Sumenep 2018. Jadi, bisa lihat penari Muang Sangkal khas Madura. Yah, meskipun belum waktunya tampil, kami bisa ngobrol sama adik-adik penarinya dan ngebahas baju adat yang mereka pake.

Habis dari keraton, kami lanjut ke Makam Raja Asta Tinggi. Di sana, kelompokku mau liputan tentang budaya ziarah ibu-ibu pengajian. Tau kan, kegiatan ziarah yang pakai bus terus keliling sekian kota dalam beberapa hari tanpa berhenti? Yep, Madura sering jadi salah satu destinasinya. Nggak lama setelah kami dateng, dateng pula rombongan ibu-ibu dalam dua bus dari Tulungagung. Rame benerrr plus panas benerrr. Asta Tinggi bener-bener terletak di atas bukit. Lagi-lagi, yang bikin rute perjalanan emang ngaco, ke makam jam 12 siang. Lha piye meneh, angel le ngepaske :(

Setelah gosong areal pemakaman, kami lanjut ke Legung Timur, daerah pesisir Sumenep. Desa ini dikenal sebagai Kampung Pasir, soalnya rumah warga di sini dikelilingi pasir yang cukup tinggi. Pasir itu mereka ayak secara berkala dan dipake tidur. Iya, tidur di atas pasir sambil menatap bintang-bintang. Kalau pas musim hujan, mereka bakal pindah ke dalam rumah. Tapi di dalam rumah pun udah sedia satu bak pasir yang dibentuk kayak kasur gitu. Bener-bener mereka nggak bisa kalau nggak tidur di pasir. Selain keunikan ini, Legung Timur juga punya pantai yang bagus banget. Pasirnya putih. Dari pinggir pantai kita bisa lihat banyak perahu layar di lautan. Perahunya nggak cuma satu-dua, nyampe kali kalau puluhan. Pemandangan yang memanjakan mata. Tapi bodohnya kamera kutinggal di bus. :') Sorry.. 

Hari selanjutnya, kami punya agenda ke pasar hewan terpadu di Sumenep. Di sini sumpah dah bingung mau liputan apa karena fokus majalah kelompokku nggak begitu kuat di lokasi ini. Akhirnya aku sama Krisna beli nasi jagung aja deh karena di pasar itu ada yang jual. Sebenarnya, budaya makan nasi jagung udah jarang banget di sana. Soalnya udah banyak nasi beras. Tapi, mumpung ada yang jual yaudah coba aja lah yeu.

Selepas kenyang, kami lanjut ke Desa Aeng Tong-Tong. Lucu ya namanya? Desa ini desanya para empu keris lho. Desa ini sedang jadi rintisan desa wisata. Mayoritas warganya emang berprofesi sebagai empu, dan pembuatan kerisnya nggak sendiri-sendiri, melainkan secara kolektif. Di sini, kami ketemu sama Mbak Ika, satu-satunya empu perempuan di sini. Karena majalah kelompokku temanya perempuan, ya jelas aja Mbak Ika jadi sasaran empuk reportase kami. Nggak dinyana, Mbak Ika ini seorang lulusan Bahasa Indonesia yang memutuskan belajar budaya asalnya dengan giat sampai jadi empu.

Rupanya, waktu kami di Sumenep sudah selesai. Saatnya lanjut ke Kabupaten Pamekasan. Agak sedih harus meninggalkan Hotel Musdalifah di Sumenep yang sangat nyaman :') Soalnya AC-nya sangat membantu kami bertahan hidup di tengah panasnya Pulau Garam. Begitu di Pamekasan, kami harus rela menghuni penginapan sebuah sekolah selama lima hari yang AC-nya nggak begitu dingin. Tapi bukan jurnalis namanya kalau nggak bisa adaptif. Kami nerima kok..

Petualangan di Pamekasan kami mulai di Desa Podhek, sebuah desa yang ditunjuk Disperindag Pamekasan buat kami liputan tentang batik. Batik Madura nggak semuanya berwarna terang menyala kok. Banyak juga yang kalem dan adem. Tapi, aku masih belum menemukan apa keunikan batik Madura ketimbang lainnya, soalnya berdasarkan liputanku nggak ada motif khusus yang ditorehkan pada kainnya.

Kami nggak lama di sana, soalnya ngejar waktu Shalat Jumat. Kami sengaja ngepasi waktu Jumatan di Masjid Asy-Syuhada, sebuah masjid di tengah Kota Pamekasan yang di seberangnya berhadapan dengan Gereja Katolik Maria Ratu Para Rosul. Kedua rumah ibadah ini dipisahkan dengan alun-alun yang disebut Arek Lancor. Sambil nungguin pada Shalat Jumat, kami kaum hawa mending nge-es buah di depan gereja. Gimana, ya. Madura panas banget, sih!

Setelah dari sana, kami bergerak di padepokan pencak silat yang namanya Pamur. Awalnya nggak enak tuh, soalnya pihak yang janjian dengan kami belum di tempat. Kami jadinya ngemper selama beberapa saat. Nggak lama, kami akhirnya ketemu dengan pengelola Padepokan Pamur. Sore-sore begitu, latihan pencak silatnya belum mulai, cuma ada beberapa anggota yang latihan fisik. Sehabis selesai wawancara, kami belum bisa pulang, soalnya malah disuguh makanan khas Madura, namanya campur. Campur adalah makanan berisi lontong, keripik yang kayak emping tapi dari singkong, bihun, dan lorjuk, yang disiram kuah pedas warna merah. Sepintas, campur serupa seblak Bandung, tapi dari Madura. Pedes banget! Sepulang dari sini pasti rebutan toilet. Ohiya, lorjuk di dalem campur nggak sama kayak yang ada di rengginang. Kalau di rengginang kan udah kering karena digoreng, di campur lorjuk-nya direbus. Jadi nampak wujud aslinya yang seperti ikan teri, tapi bukan. Seperti ulet, tapi bukan. Kata Tari dan Lala, salah dua anggota Pamur yang nemenin kami makan, lorjuk itu hewan laut. Akhirnya kami memutuskan menelan mereka bulat-bulat saja karena enak.

Hari selanjutnya kami sebenarnya agak free, sebab malam harinya dapat undangan Festival Kemilau Madura di Arek Lancor dari Dinpar Pamekasan. Wagelasehhh, kami diundang langsung oleh Kadinpar! Namun, dosen kami tidak menghendaki kami benar-benar free, akhirnya kami ke Festival Sapi Sono' di Pamekasan. Rupanya festival sapi ini masih satu rangkaian dengan Kemilau Madura. Di sana, kami bisa lihat sapi-sapi betina didandani sedemikian rupa dan berlenggak-lenggok di hadapan juri. Sumpah, beneran cantik!

Setelah bosen ngeliatin kulit sapi yang lebih mulus dari kulit kami sendiri, kami diajak salah satu teman dosen ke rumah adat Madura, namanya taneyan lanjheng. Namun, sebelum sampai sana, kami mampir dulu di warung soto ayam. Sebelum ke Madura, saya nggak pernah makan soto Madura, jadi nggak ada bayangan kayak apa makanan ini. Namun, soto ayam di sini juga nggak sepenuhnya merupakan Soto Madura, soalnya nama plang-nya Soto Ayam Keppo. Hadeh, mbingungi. Jadi, soto ayam di sini terletak di Jalan Keppo, namanya jadi Soto Ayam Keppo. Soto di sini beda banget sama soto di luar sana. Seporsi soto berisi suwiran ayam kampung, irisan telur rebus, kentang, dan ada taburan kayak peyek di atasnya, yang diiringi dengan sepiring lontong. Rasanya, seger banget! Gurih dan ringan dimakan siang-siang~

Sehabis kenyang, kami lanjut ke taneyan lanjheng. Rumah adat Madura ini punya tiga konsep utama, 1. Islami; 2. menghormati orang yang lebih tua; 3. melindungi perempuan. Konsep pertama diwujudkan dengan peletakan langgar di sisi paling barat pemukiman. Konsep kedua diwujudkan dengan deretan rumah-rumah adat yang berjejer ke timur, nah di sisi paling barat ini dihuni oleh generasi tertua, lalu di sebelah timurnya diisi anaknya, cucunya, cicitnya, terus menerus begitu. Di Pamekasan, sampai ada 11 rumah dalam satu deret. Di sini, lagi-lagi kami makan. Oleh warga Desa Buddagan 1, kami disuguh makanan rumahan, ada nasi jagung, tempe, terus sayur kacang panjang yang aku lupa namanya..... banyak deh, tapi lupa namanya. Pokoknya, makan teros!

Malamnya, saatnya kami ke Festival Kemilau Madura. Senang dong, soalnya dapet undangan perorang gitu. Bayangan kami, wah bakal dapet kursi, bisa duduk lalu menikmati acara. Rupanya, sama sekali tidak! Kayaknya Dinpar Pamekasan terlalu banyak membagikan undangan gratis ke masyarakat, tapi nggak dibarengi dengan penyediaan kursi tamu. Jadinya, banyak yang berdiri karena nggak dapat tempat. Lah.. Ya sudah, daripada jengkel, akhirnya saya ketemuan aja sama Mbak Muna Masyari, penulis cerpen dari Pamekasan yang baru-baru ini dapat penghargaan dari Kompas. Sambil ngemper di depan gereja (lagi), kami ngobrol soal pengalaman menulisnya.

Kalian pernah lihat Karapan Sapi? Saya? Hampir! Hari selanjutnya, kami liputan di Festival Karapan Sapi, masih satu rangkaian sama Festival Kemilau Madura dan Sapi Sono'. Baru masuk gerbang stadionnya, udah banyak calo yang menjual urutan main sapi-sapi itu. Begitu masuk, wuaaahh panaseee. Rameneee, isine bapak-bapak kabeh. Niatku, di situ mau motret aja karena memang nggak tahu mau liputan apa. Tapi, sayang sekali, sungguh malang, handphone Demilia, teman sekelompokku, hilang saat kami desek-desekan di kerumunan yang rame bapak-bapak. Akhirnya aku nggak jadi nonton sapi-sapi itu pada lari-larian. Panik dong ya, sambil terus berupaya nelepon tuh handphone kali aja ada keajaiban terus ketemu..

Karena udah capek, pusing, dan penuh debu stadion, kami lanjut aja ke destinasi selanjutnya yaitu Pabrik Garam CV Kristal Bahari di perbatasan Sumenep-Pamekasan. Udah datangnya siang-siang, lokasinya di deket pantai, ya bisa dibayanginlah ya itu panasnya kayak apa. Pokoknya, banyak keluhan terucap tak henti-henti. Tapi, kami urungkan keluhan itu ketika melihat para pekerja di sana sedang membersihkan kolam untuk persiapan pembuatan garam. Lihat hamparan luas isinya garam itu berasa lihat salju. Nggak kebayang dah, tadinya mikir cara bikin garam itu kayak gimana.. Tapi, ada hal unik terjadi di sini! Salah seorang pekerja rupanya sedang bawa lorjuk! Lorjuk hidup! Wah, akhirnya, kami bisa lihat wujud si kecil ini sejatinya apa. Rupanya, lorjuk itu sejenis kerang yang bentuknya diselubungi corong kayak bambu. Kalau lihat hidup-hidup, sebenarnya saya jijik karena mereka uget-uget gitu. Kerang lorjuk ini cuma ada di Madura! Penasaran? Silakan ke Madura, karena saya nggak sempat foto juga hehehe

Malamnya, kami satu kelompok mengantar Honey beli jamu di dekat hotel. Sebenarnya, kelompok kami yang pengen liputan tentang jamu, tapi karena Honey bilang bersedia beli, ya udah kami anterin aja sambil wawancara. Jamu di Madura beda sama di Jogja, kayaknya pahit semua gitu. Saya nggak mau nyoba, karena doyannya ya cuma beras kencur sama kunir asem. Di sini, jamunya mahal pula. Segelas bisa Rp20.000. Aduh....

Pulau Madura sangat didominasi warga muslim. Di sini, anak-anaknya juga lebih banyak yang masuk pesantren ketimbang sekolah formal biasa. Berangkat dari situ, kami penasaran dong dengan kehidupan mereka di pesantren, akhirnya kami ke Pesantren Al-Amien Prenduan di Sumenep perbatasan Pamekasan. Di sana, kami diajak pengelola untuk keliling melihat cara santri tinggal. Kompleks laki-laki juga dibedakan dengan kompleks perempuan. Jadi, pas dari areal santriwan, kami harus pindah naik bus untuk ke areal santriwati.

Setelah dari pesantren, saatnya liburan! Yak, soalnya destinasi selanjutnya itu tempat wisata, yaitu Air Terjun Toroan di Sampang. Silakan kelompok majalah traveling untuk liputan, kami yang lain saatnya liburan. Di sana, air terjunnya berasa seger banget di tengah terik matahari. Rasane pengen nyemplung, tapi males gosong. Di sana juga ada beberapa orang yang lagi ngangkut pasir dari pantai. Tapi, begitu diajak ngobrol susah, soalnya pakai bahasa Madura. Nggak bisa aku, rek.

Destinasi wisata selanjutnya yang kami kunjungi sore itu yaitu di Pantai Hutan Kera Nepa, nggak jauh dari Air Terjun Toroan. Jangan bingung sama namanya. Ini memang hutan kera di tepi pantai. Belum juga masuk ke hutannya, kami udah disambut kera berambut abu-abu yang ekornya panjang. Ketika kami tanya ke warga lokal sekaligus pemandu di sana, jumlah keranya ada ribuan..... Kera-kera di sini sangat fotogenik sih, untungnya mereka baik. Nggak cuma kenalan sama kera-kera di sana, kami juga nungguin sunset di pantainya. Tapi gagal, soalnya nggak menghadap barat hahahaa.

Kembali ke penginapan, kami sudah harus packing. Sebab, besok jadi hari terakhir kami di Madura. Duh, sedih... Padahal baru dapat hasil wawancara yang nggak seberapa.

Pagi harinya, setelah packing dan check out, kami langsung ke Bangkalan. Perjalanan Pamekasan - Bangkalan kira-kira tiga jam. Tahu apa yang kami lakukan selama itu? Tentu saja tidur! Destinasi pertama di Bangkalan yang kami tuju adalah Rumah Makan Bebek Sinjay. Yak, tidur dan makan adalah bakat utama kami.

Namun, rombongan harus dibagi dua untuk menghemat waktu. Setelah ngedrop separo lebih anak di warung bebek, sisanya lanjut ke Makam Air Mata Ibu. Di sini, isinya cuma pepanas aja sebab, harapan liputan tidak sesuai realita. Yaudah, kami nggak lama di sini, langsung balik ke warung bebek. Meskipun udah buka cabang di banyak tempat, nggak afdol rasanya makan bebek Sinjay tidak di Bangkalan. Tapi, saya juga nggak makan di sini, saya pilih bungkus aja karena warungnya panas banget. Kemudian mlipir ke warung es degan seberang dan ngees di sana.

Saya belum pernah ke Arab Saudi, tapi rasanya Madura adalah tempat paling panas di dunia yang pernah saya rasakan. Jualan es di sini dijamin laku! Jam berapapun orang tetap ada yang mau beli.

Namun, hawa orang-orangnya nggak sepanas cuacanya. Di sini, orang Madura sangat hangat menyambut kami. Mereka baik, nggak seperti yang termanifestasi di media kalau mereka keras, galak, dan seenaknya. Mungkin mereka akan keras ketika harga dirinya tercoreng, tapi semua orang juga begitu nggak sih? Jadi, ya sebenarnya biasa aja. Nggak usah takut ke Madura. Bawa kaos aja yang banyak karena dikit-dikit basah keringet.

Madura saat ini sedang dikembangkan wisata pantainya. Di Sumenep, udah banyak tuh gili-gili yang pemandangannya aduhai, pasirnya putih, lautnya biru. Kalau punya kesempatan, silakan dicoba. Kami sengaja nggak kesana, karena nggak ada yang mau liputan di sana. Yaudah. Tapi kami kebanyakan malah wisata religi. Sektor pariwisata ini memang agaknya perlu dikembangkan oleh pemerintah di sini, soalnya banyak banget makam wali dan kyai di Madura.

Sektor pariwisata yang perlu banget segera dikembangkan di Madura yaitu wisata kuliner! Sumpah ya, makanan di sini enak-enak. Campur lorjuk aja udah diangkat di film Aruna dan Lidahnya. Belum lagi, soto ayam keppo yang seger banget. Belum lagi sate Madura yang meskipun kecil-kecil tapi bumbunya halus banget. Belum lagi Bebek Sinjay yang gurih banget plus rempahnya sangat meresap sampe ke tulang. Nggak heran, banyak warung makanan Madura di Yogyakarta.

Orang-orang di sini juga baik banget sama pendatang. Lupa deh malam keberapa itu, kami beli tujuh porsi sempol di dekat hotel. Eh, digratisin satu porsi dong. Aduh, terharu banget. Belum lagi, pas nganter Hiromi ke Alfamart. Dia kepengen Oreo Thin tapi males beli karena dalihnya pengen diet. Akhirnya cuma ribu aja gitu di dalem toko. Eh, ada ibu-ibu yang ngatri di kasir denger. Dia tanya dong, kami dari mana. Kami bilang dari Jogja, lagi kuliah lapangan di Madura. Eh, Hiromi malah dikasih dua pak Oreo Thin sama ibunya. Serasa dapet durian runtuh! Di lain kesempatan, pas Honey dan Dhela liputan di Festival Kemilau Madura, mereka juga dikasih dua kain batik sama Disperindag Pamekasan.

Jadi silakan berhenti meneruskan stereotip negatif tentang Madura kalau belum pernah ke Madura. Kalian harus coba ke sini, berbaur dengan warganya, nyoba makanannya, lihat alamnya.. Waduh, dijamin bakal jatuh cinta! Ah, terima kasih Mbak Senja, dosen Jurnalistik yang memberi kami kesempatan kuliah di Madura! Terima kasih teman-teman sudah mau bareng-bareng bantu perjalanan ini. Meskipun kalian rese', aku tetap sayang.

Sedikit tips kalau ke Madura, jangan lupa bawa kamera, minimal kamera handphone karena bakal banyak banget yang bisa kalian abadikan. Jangan kayak saya, h-3 berangkat, handphone malah nyemplung ke air dan nggak mau hidup. Akhirnya pakai handphone pinjeman yang kameranya bruwet. Untung saya masih bawa DSLR, tapi ya tetep aja nggak ringkes. Barang lain yang harus dibawa yaitu kaos yang banyak dan sunscreen SPF50 kalau nggak mau dipanglingi orang di rumah.

Happy traveling!


Difotoin Mbak Senja, dosen kami tercinta, menggunakan handphone Dilma yang ciamik. Ini di Stasiun Gubeng sebelum balik ke Yogya.

Komentar

  1. Balasan
    1. Bal, tolong jelaskan mengapa posisi saya ada di bawah ketek Anda?

      Hapus
  2. Kerasaa banget abis petualangannyaaah Jeng! Panas banget ya di sana? Pasti kalo aku ke sana langsung jerawatan mulu hwahaha tapi asyik yak kulinernya, orang2nya, dan keseruannya astaga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenernya tulisan ini sangat tidak seberapa dibanding keseruan langsung di sana hehehe cobalah ke Madura, Marf!

      Hapus
    2. Hahaha pasti lebih "heboh" ya suasananya. Okey, semoga bisa ke sana juga :3

      Hapus

Posting Komentar

Berkatalah yang baik atau diam.

Postingan Populer