Ketika Saya Lelah Menjadi Ambisius
Sekitar seminggu ini,
saya bolak-balik menilik dua postingan terakhir saya. Di situ saya menulis
tentang komitmen saya untuk membaca 30 buku selama satu tahun dan produktifmenulis dalam projek bersama sahabat saya. Saking optimisnya saya terhadap
visi-misi jangka pendek saya terhadap pengembangan diri saya tersebut, saya
sengaja tidak menulis di blog ini. Tetapi lama-lama, bukan cuma blog ini yang
saya acuhkan, turut serta kedua projek saya tersebut hilang dari pikiran.
Alasannya klasik
sekali: sebagian besar waktu saya habiskan untuk mengerjakan tugas kuliah.
Semester empat di kampus saya memang nggak main-main. Apalagi di konsentrasi
penjurusan saya, Jurnalistik, yang menguras tenaga dengan beragam tugas
lapangan. Ditambah lagi dua kewajiban lain di sebuah komunitas dan organisasi
yang membuat saya berdoa agar bisa membelah diri. Pada akhirnya,
komitmen-komitmen awal pada projek pribadi saya terabaikan sudah.
Sebenarnya, segala
kesibukan itu nggak bikin saya rugi-rugi amat, sih. Saya tetep produktif
menulis untuk kampus, organisasi, dan komunitas. Saya tetep baca buku dalam
rangka mendukung tulisan saya meskipun nggak sampai selesai. Saya justru
belajar banyak hal baru, tentang gimana caranya editing audio dan video, hingga
teknik fotografi. Betapa berharganya memang kuliah di jurusan ini. Saya jadi
punya modal hidup di dunia kekinian.
Salah satu hasil belajar foto. (Credit: Lajengpadma) |
Yang saya sesalkan
hanyalah waktu saya yang tadinya saya niatkan untuk baca banyak buku beralih
untuk kegiatan lain. Padahal, buku saya makin banyak di rak. Bukannya habis,
malah tambah penuh sampai nggak inget kapan belinya. Saya hanya kangen
berhari-hari nggak keluar rumah cuma buat baca buku. Saya rindu mojok di kamar
lalu haha-hihi karena membayangkan adegan ini-itu. Yhaa, tapi saya sendiri yang
seringkali kepengen ikut ini-itu buat upgrade
diri.
Kalau keseringan sibuk,
saya senang sampai terus-terusan cari kesibukan lain. Kelar projek ini, cari
projekan lain. Sampai-sampai orang rumah nggak pernah ketemu saya karena saya
cenderung berangkat pagi-pulang malam. Kalau saya keseringan nggak ada kerjaan,
saya jadi malas ngapa-ngapain. Mau ada kerjaan yang deadline-nya bentar lagi
pun, bakal saya garap mepet deadline. Nggak patut ditiru memang. Orang rumah
selalu nggak setuju saya sok sibuk di luar kuliah. Saya setuju dengan larangan
itu kalo deadline lagi edan-edannya. Hehehe..
Tulisan ini dibuat
ketika saya keseringan nggak ada kerjaan, jadi bawaannya malas ngapa-ngapain. Padahal saya merasa
perlu terus-terusan belajar, biar kemampuannya banyak, lalu bisa multitasking
dan dapet kerjaan yang ketje. Apalagi karena awal libur lebaran kemarin, saya
banyak-banyak buka lowongan pekerjaan. Ternyata mereka nyari calon yang
komunikatif, punya skill riset, ambil foto-video, nulis, masak, keuangan, dan
beraneka ragam keahlian lainnya.
Dalam hati, saya mikir
saya punya apa sih? Masuk kuliah di Ilmu Komunikasi ya niatnya biar komunikatif
tapi belum jago-jago amat. Males riset, pengennya instan. Skill foto-video
seadanya. Sok bisa nulis padahal ya begitu-begitu aja tulisannya. Kenal bumbu
dapur aja barusan. Bisa ngatur duit sendiri aja alhamdulilah. Lah, saya mau
ngapain dong? Ngojek? Alhamdulilah sih kalau nggak dianiaya pengendara lainnya.
Orang rumah selalu
mendukung saya untuk ‘apa-apa bisa’. Tapi, mereka selalu bilang kalau saya
bakal kembali ke fitrahnya perempuan: mengurus keluarga. Pada awalnya, saya
merasa hal itu membatasi diri saya. Tapi lama-lama saya mikir itu benar juga.
Lebih seru lagi kalau saya bisa ‘apa-apa’ sekaligus bisa mengurus keluarga.
Mengharukan sekali kedengarannya, ya?
Karena beberapa waktu
ini saya banyak mikir.. Saya banyak main di luar untuk mencoba banyak hal baru.
Tapi ujung-ujungnya yang saya dapat hanyalah kuantitas, bukan kualitas.
Akhirnya saya kok capek sendiri rasanya. Pada akhirnya saya hanya ingin nrimo saja dan nggak perlu neko-neko. Dikasih kesempatan
alhamdulilah, nggak dikasih ya nggak usah dikejar banget. Menjadi ambisius
ternyata melelahkan. Alangkah baiknya belajar sabar dan bersyukur. Ah, kenapa saya jadi sok alim begini sih?
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus