Biar Mata Buta, Jangan Sampai Hati Mati
Sore itu, seusai pulang dari kantor tempatku bekerja, aku
menyempatkan diri mampir ke taman kota. Sejujurnya, tempat ini kurang layak
untuk disebut taman. Selain tanaman yang amat jarang tumbuh, hanya ada beberapa
kursi permanen yang tersebar taman ini, yang bahkan catnya sudah mengelupas di
sana-sini. Menurutku, hanya satu hal yang membuat taman ini cukup pantas
disebut taman, yaitu keberadaan air mancur yang berdiri di jantung taman. Yah,
meskipun airnya sering macet.
Kuhela napas panjang berulang kali. Kedatangan adikku tadi
siang di kantor mengejutkanku. Bukan hanya karena parasnya yang bertambah
cantik, namun juga kabar berita yang dibawanya. Baru kusadari sudah lama sekali
aku tidak bersua dengannya.
“Bagaimana kabar Mas? Sudah dewasa, sudah mapan, apakah juga
sudah mendapat pendamping?” suara lirih adikku menanyaiku tadi siang.
“Mas baik, Mir. Bagaimana denganmu? Mas masih betah sendiri,
Mir,” jawabku seadanya.
“Mira senang Mas baik-baik saja. Mira juga baik. Bapak dan ibu
di rumah juga baik,” ujarnya dengan senyum yang tidak pernah lepas dari
wajahnya.
Hening. Aku terdiam. Ingatanku melayang sejenak ke rumah
mungil di desa yang sudah bertahun-tahun kutinggalkan dan tak pernah kutengok
lagi. Rumah yang mengisi masa kecilku, dengan sepasang sosok tua yang selalu
mengulurkan tangan mereka ketika aku terjatuh. Namun semua berubah saat ego
masa mudaku lebih menguasai hatiku. Bapak tidak setuju dengan pilihanku
sehingga aku memutuskan untuk pergi.
“Bapak dan ibu akan pergi ke Mekah tahun depan, Mas. Mereka akan berhaji. Impian kita bertiga untuk mengantar bapak dan ibu untuk pergi beribadah haji rupanya sudah diwujudkan Mas Amir.” Senyum di wajah Mira bertambah lebar.
Aku makin terhenyak. Adik pertamaku itu rupanya sudah mampu
menghajikan orang tua. Ada perasaan iri menyergap hatiku. Seharusnya aku yang
memberangkatkan bapak dan ibu untuk berhaji, aku kan anak tertua. Namun ketika
memori tentang kelakuan masa mudaku dulu, aku menyesal. Aku menyesal
meninggalkan mereka. Aku kehilangan mereka dan, mungkin saja, kepercayaan
mereka.
Helaan napasku sedikit demi sedikit mulai teratur. Duduk di
taman ini cukup membuat pikiranku menjadi lebih baik. Mungkinkah aroma rumput
kering yang kupijak, atau percampuran uap air mancur dengan udara, atau mungkin
saja tahi-tahi burung merpati yang berkeliaran di sekitar taman yang membuat
perasaanku lebih baik?
Kuambil ponsel dari saku dan mengabadikan momen sepasang burung
merpati yang sedang berduaan di kursi taman. Kulihat hasil bidikanku. Hm,
lumayan.. Eh, tunggu. Di dalam latar foto burung merpati yang kuambil tadi, tampak
seorang anak laki-laki sedang mendorong gerobak yang berisi orang yang sudah
tua. Aku bertaruh orang itu pasti ibunya. Tangan-tangan mungil anak yang kuduga
masih berusia sepuluh tahunan itu dengan kuat mendorong gerobak ibunya di
taman. Kuamati mereka, hingga lama kelamaan mereka mendekat ke arahku.
“Permisi, Mas. Apakah kursi di sebelah Mas kosong?” tanya
anak laki-laki itu dengan sopan. Tangan-tangannya masih mencengkeram pegangan
gerobak.
“Ya,” jawabku singkat karena masih sibuk mengamati
penampilannya yang lusuh.
“Bolehkah kami duduk di sini sebentar? Ibu saya ingin melihat
sepasang merpati itu,” ujarnya sambil tersenyum.
“Boleh, silakan.” Aku menggeser posisi dudukku agar si anak
bisa duduk di sebelahku.
“Dengan siapa kau berbicara, Nak?” tanya ibu tua itu pada
anaknya. Meski begitu, pandangan ibu itu tidak beranjak dari kedua merpati. Aku
terhenyak, bagaimana bisa sang ibu tidak menyadari keberadaanku?
“Dengan Mas ini, Bu. Aku duduk di sebelahnya,” jawab anak
itu. Aku terbengong-bengong. Kualihkan pandanganku pada bocah itu, meminta
penjelasan. Lalu anak itu beralih padaku, “Maafkan ibu saya, Mas. Ibu saya
tidak bisa melihat.” Sudah kuduga! Pandangan mata anak itu terlihat sedih,
namun senyum di wajahnya masih tersungging.
“Oh, permisi, Nak. Biarkan kami duduk di sini. Meskipun saya
tidak bisa melihat merpati itu dengan mata, namun saya bisa mendengar kepakan
sayapnya, atau hembusan udara sekitar saat mereka terbang, atau yang paling
buruk sekalipun mencium bau tahi mereka,” kata ibu tua itu diakhiri dengan
tawa. Senyumnya melebar, matanya nampak bersinar meski dilapisi lapisan
abu-abu.
“Silakan, Bu,” kataku akhirnya. “Hm.. Maaf jika saya lancang,
mengapa ibu memakai gerobak kemari?”
“Saya ingin memakai tongkat, tetapi kaki-kaki saya sudah tidak
mampu untuk berjalan jauh, Nak,” jawab ibu itu tanpa menanggalkan senyum yang
sedari tadi tersungging di wajahnya.
“Ibu sudah lama tidak keluar rumah, maka saya meminjam
gerobak milik paman untuk membawa ibu ke taman,” kata anak itu sambil meringis.
Aku tertegun. Anak sekecil itu, yang kukira bahkan belum
lulus sekolah dasar, bisa memiliki hati sebesar itu. Aku yang hingga sarjana
diperjuangkan, malah berbelok arah melawan keinginan orang tua.
“Mungkin di dalam hatimu sedang bertanya-tanya, untuk apa
seorang buta pergi ke taman, dengan gerobak pula, namun katanya ingin melihat
merpati...”
“Err.. Saya tidak berniat berkata seperti itu, Bu,” potongku.
“Percayalah, Nak. Tidak semua hal yang indah hanya bisa
dilihat dengan mata. Terkadang hal yang lebih indah justru hanya dapat dilihat
oleh hati. Misalnya, kasih sayang orang tua pada anaknya, begitu juga
sebaliknya. Saya tidak pernah meminta anak saya untuk membawa saya kemari.
Meskipun dia tidak melakukan apapun untuk saya, saya tetap menyayanginya. Saya
juga yakin anak saya sangat menyayangi saya meskipun keadaan saya yang seperti
ini terkadang menyusahkannya.”
Aku terhenyak. Mengapa ibu ini tiba-tiba berkata seperti ini?
Mengapa ucapan beliau sungguh tepat dengan keadaanku sekarang?
Lalu ingatan itu muncul lagi. Sepercik memori masa kecil
ketika aku dan kedua orangtuaku masih bersama. Setetes air luruh dari sudut
mataku, cepat-cepat kuhapus supaya orang lain tidak melihat. Kusadari, aku
sangat merindukan kedua orang tuaku. Ego selalu membuatku bertindak bodoh tanpa
berpikir bijak. Sesal selalu muncul di belakang, namun kuharap kesempatan untuk
memperbaiki masih ada.
Hari itu, usai pertemuanku dengan sepasang ibu-anak yang amat
luar biasa, aku memberanikan diri menelepon orang tuaku di desa.
“Halo... Ibu? Ini Amri. Amri rindu. Bagaimana Bapak?” kataku
dengan jantung berdebar.
Dari ujung sana, kudengar suara lembut ibu menjawab disertai
tangis haru.
Terima kasih sudah berkunjung :)
BalasHapus