Cerpen : Ilusi
"Sa..
Risa..." panggilnya.
Aku menoleh
kepada sumber suara. Suara berat yang menenangkan itu... Tapi aku tak mampu
melihat sosoknya. Yang ada hanya hitam dan kelam.
"Risa..."
Suara itu
terasa amat dekat. Seakan-akan aku bisa meraihnya dengan tanganku lalu kudekap
selamanya. Kuulurkan
tanganku, kucoba meraba-raba sekelilingku. Namun hanya angin yang
kudapati. Aku merasa... kehilangan..
"Risa.."
Suara itu semakin lama semakin dekat. Aku semakin gila ingin menggapai sang
empunya suara. Kuraih lagi apapun yang ada di sekelilingku...
"RISA!!!!"
Aku
terbangun dengan kaget. Kudapati kakakku di sampingku dengan posisi tangan
melayang ingin menamparku. Mataku semakin terbelalak. Namun, suara berat
menenangkan itu.. Itu bukan suara kakakku. Sepertinya aku tahu siapa pemilik
suara itu. Tapi, otakku tidak mau menunjukkan siapa dia.
"Dasar
tukang tidur! Coba lihat sekarang jam berapa!" teriaknya.
Aku menoleh
ke arah jam beker yang kutegakkan di meja samping tempat tidurku. Jarum
panjangnya menjadi rebutan angka 4 dan 5. Jarum pendeknya bergeser sedikit dari
angka 6. Sedangkan jarum terkecil yang berwarna merah terus melaju seakan tak
mau berhenti. Otakku yang lemot sehabis bangun tidur kesulitan memahami arti
dari letak jarum-jarum tersebut. Baru setelah jarum panjangnya berada tepat di
angka 5, aku terbelalak lagi. Terburu-buru kusambar baju di lemari dan
menghambur ke kamar mandi.
***
Aku melirik jam tangan. Tujuh kurang
seperempat. Pencapaian yang bagus, menurutku. Aku mampu mandi, sarapan, dan
bersiap ke sekolah dalam waktu 20 menit. Aku bergegas mengambil sepeda dari
garasi dan menaikinya menuju sekolah.
Oh,
bagus. Lelaki itu. Apa yang kau lakukan di sana?, pikirku.
Berdiri di depan rumahmu dengan sepeda di tangan. Apa kau tak berniat berangkat
ke sekolah? Apa kau tak tahu pukul berapa saat ini? Mengapa kau menatapku
seperti itu? Oh, tatapan yang bagus untuk seseorang yang pernah menjalin
hubungan denganmu. Oh, aku takut sekarang. Kurasa aku harus melajukan sepedaku
lebih cepat.
***
“Sa!
Melamun aja, sih. Kenapa? Eh, tugas resensi novelmu mana?” serobot Eryn
membuyarkan lamunanku. Ia mengambil tempat duduk di sampingku.
“Tugas
resensi kan dikumpulin tanggal 7, Ryn,” jawabku.
“Hari
ini tanggal 7, sayangku. Lihat kalender, deh,” kedua tangan Eryn memegang kedua
pipiku lalu mengarahkan kepalaku agar menatap kalender yang terpajang di
dinding kelas. Hari ini hari Sabtu tanggal 7 Desember 2013.
7 Desember..
Ingatanku melayang ke tanggal yang sama pada tahun lalu.
Aku mengendap-endap memasuki kamarmu. Kedua
tanganku membawa sekotak kue ulang tahun. Adikmu membuntutiku sambil membawa
segayung air.
Byuurrrr... Adikmu mengguyurmu
dengan segayung air diiringi tawa. Aku mengangkat kotak kuemu tinggi-tinggi
agar lilinnya tidak mati terkena air. Kau terbangun dengan kaget. Aku masih
ingat raut wajahmu. Konyol sekali.
“Happy birthday to you. Happy
birthday to you. Happy birthday, happy birthday, happy birthday to you,”
kunyanyikan lagu untukmu. Matamu berbinar melihatku membawa kue ulang tahun
keenam belasmu. Adikmu mencium pipimu lalu menyanyikan lagu yang sama. Kau
memeluknya dan berbalik mencium pipinya. Lalu kau menatapku lama. “Terima
kasih. Aku mencintaimu,” katamu.
“Bagus.
Kau melamun lagi,” kata-kata Eryn membawa kembali memoriku ke masa kini.
“Aku
lupa hari ini tanggal 7.”
“Kau
lupa mengerjakan tugas resensi? Dan kau lupa betapa disiplinnya Bu Oki?” Eryn
menatapku dengan alis bertaut.
“Aku
lupa hari ini dia berulang tahun.”
“Apa?
Bu Oki ulang tahun? Asyik, kita bisa memanfaatkan momen ini untuk tidak
mengumpulkan tugas!” Eryn berteriak histeris. Ia menatapku seolah aku berhasil
mengumpulkan emas. Aku menggeleng. Kutatap ia dengan pandangan, bukan, kau bodoh.
***
Bel
pulang sekolah telah berbunyi 5 menit yang lalu. Kelas telah usai. Kumasukkan
buku terakhirku ke dalam tas. Aku menarik nafas panjang. Mendadak pusing
mengingat tambahan tugas yang diberikan Bu Oki gara-gara lupa mengmpulkan tugas
resensi.
7 Desember..
Apakah aku harus menemuimu dan memberimu ucapan
selamat ulang tahun? Kini semua berbeda. Aku bukan lagi yang kaucintai. Kini
semua berbeda. Ucapanku bisa diartikan salah olehmu. Ah, aku tahu apa arti
tatapanmu pagi tadi. Jadi kau berharap semua kembali? Kau harap aku memasukki
kamarmu dan membawakanmu kue lagi? Mungkinkah? Tak mungkin.
Kutepis pikiran bodoh
itu. Kubiarkan kakiku membawaku ke mana aku pergi. Kuharap semilir angin mampu
membawa pergi memori masa lalu. Kupandangi awan-awan gelap yang bergumul di
langit berarak menuju barat. Sangat besar seakan dapat menutupi angkasa yang berwana
biru. Namun sang mentari tak mau kalah. Ia menebarkan berkas-berkas sinar ke
celah-celah kumpulan awan. Berusaha keras mengusir mendung.
Lalu kulihat sebuah
pemandangan yang kuyakini akan kusesali seumur hidupku..
Kau berjalan ke
arahku. Sedikit tergesa dengan sesekali melirikku. Kau seperti salah tingkah,
seperti ragu-ragu ingin melakukan sesuatu. Aku ingin menyingkir dari sana, tapi
tak bisa. Kakiku seperti terpaku ke bumi. Entah kakiku yang tak mau bergerak
atau aku sendiri yang tak ingin beranjak.
“Risa..” panggil
pemilik suara berat itu padaku. Aku termenung.
“Aris!” teriak
seorang gadis di belakangku. Sedetik kemudian gadis itu berjalan melewatiku. Di
tangannya ada sebuah kotak.
“Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday, happy
birthday, happy birthday to you,” gadis itu bernyanyi di hadapanmu.
Disodorkannya kotak tadi ke tanganmu. Lalu ia mendaratkan sebuah kecupan kecil
di pipimu.
Tanganku terkepal.
Kuyakinkan diriku sendiri gadis itu adalah adikmu. Namun kenyataan tak dapat diubah.
Tentu saja itu pacar barumu! Penglihatanku takkan membohongiku. Kukepal
tanganku lebih keras. Mencoba menghalau setitik air mata yang bersiap jatuh.
Cukup. Aku berbalik. Kulangkahkan kakiku menjauh. Menjauh dari semuanya.
Menjauhkan hatiku dari patah hati. Patah
hati? Benarkah? Aku bahkan tak punya
hak untuk cemburu. Semua hanya masa lalu.
“Risa..” sayup-sayup
kudengar suara berat menenangkan itu memanggilku. Suara berat yang, ehm,
sebenarnya kuharapkan akan memanggilku. Kutengok ke belakang. Tidak. Dia tidak
memanggilku. Rupanya hanya ilusi.
Howaa... Cerpennya bagus... :O
BalasHapusKeep writing ^^g
Wah, terima kasih, ya :) Sebenernya saya masih belajar juga buat merangkai kata-kata untuk dijadikan cerpen. Semoga saya bisa bikin yang lebih baik lagi. Saya tunggu kunjungan selanjutnya, ya ^^
Hapussedap. keren loh ini cerpennya. feelnya dapat banget.
BalasHapusditunggu postingan selanjutnya ya
kalau ada waktu, main ke blogku juga ya
Terima kasih :)
HapusSemoga saya bisa bikin cerpen yang lebih baik lagi ^^
Oke, tunggu kunjungan saya ya..