Cerbung : Karena Terbiasa (Part VI)

Cerita sebelumnya bisa dibaca di sini.

Karena Terbiasa (Part VI)
(Dyar Ayu Budi Kusuma)
Mia sedang duduk santai di kantin kampus ketika tiba-tiba sosok Arga muncul dengan senyumannya yang menghangatkan Mia. Terakhir melihat Arga, 2 hari yang lalu. Kumis tipis masih menghiasi atas bibirnya. Mia suka berlama-lama menatap ketampanan alami Arga.
“Halo,” sapa Arga seperti biasa, tidak pernah pelit senyum.
“Halo juga, Ga,” sambut Mia ceria. Arga selalu merindukan suara Mia yang ceria, seolah tanpa beban berat menggantung hidupnya. Senyumnya, lesung pipinya, matanya, semua itu bisa membuat Arga langsung jatuh cinta.
“Aku punya sesuatu buat kamu, semoga bermanfaat.” Arga menyerahkan sebuah plastik dengan lebel sebuah toko buku ternama.
“Boleh dibuka?”
“Tentu.”
Pelan, Mia membuka plastik itu. Ternyata buku itu masih dibungkus kertas kado bergambar kue-kue manis. Lalu nampaklah sebuah buku dengan judul “Gerimis di Arc de Triomphe”. Covernya langsung membuat Mia jatuh hati.
“Semoga Mia suka sama buku ini, buku ini bisa bikin Mia makin semangat belajar masaknya. Resepnya jempolan,”
“Ini kan novel, Ga. Ada resepnya, ya? Lucu deh,” Mia memeluk buku itu dengan bahagia. Belum pernah dia merasa sebahagia itu diberi sebuah novel oleh orang lain.
“Di dalamnya kamu akan tau tentang masakan khas Prancis, kamu bisa memasak sambil membayangkan manisnya kota Paris. Aku punya satu,” Arga membuka tasnya dan menunjukan novel yang sama. Laki-laki ini suka novel..
“Aku pasti bakalan segera baca. Makasih, Arga,” refleks, Mia memegang tangan Arga penuh suka cita. Arga merasakan tangan seseorang yang dirindukannya sejak 4 tahun lalu. Tangan yang halus, lentik, dan menggemaskan kini ada di tangan Mia.
“Aku seneng kalau kamu suka. Tapi, kalau kamu udah bisa masak makanan Prancis, kamu harus menjadikan aku tester, OK?”
“Pasti! Aku akan belajar masak, biar kamu enggak sekurus ini, biar kamu bangga punya Junior kaya aku. Janji, deh,” Mia mengulurkan kelingkingnya, menunggu Arga mengaitkan kelingkingnya disana. Yah, kebiasaan Mia yang seperti inilah yang khas remaja muda. Yang dulu tidak ditemukan Arga di dalam diri Kinantan. Arga merasa jauh lebih baik ketika mengaitkan kelingkingnya di kelingking Mia. Alam semesta seolah mendukung Arga untuk mengatakan “Ya, dia yang aku cari,” di depan Mia. Tapi semua itu buru-buru Arga tahan. Arga takut malah membuat Mia merasa takut, bahkan memutuskan untuk menjauh. Arga harus pandai-pandai membuat Mia luluh. Mia tidak gampang.
Sesaat mereka terdiam, Arga menunggu Mia yang sedang asik sendiri dengan novel pemberiannya. Mia asik membolak-balik halaman demi halaman novel itu, seperti tersihir. Arga menyibukkan diri dengan segelas jus apel yang dipesannya. Minuman itu hanya diaduk-aduk tidak berselera.
“Mia,” akhirnya Arga membuka mulut, mengakhiri keheningan diantara mereka.
“Ya?” Mia menatap Arga lurus ke dalam matanya. Arga seperti tertohok ditatap mata itu. Mata teduh itu.. hangat..
“Emmh.. Aku.. Aku harus masuk kelas sekarang. Mia mau diantar pulang atau?”
“Enggak usah ah, masih mau di sini. Kamu masuk aja sana, keburu telat! Semangat, yah,” Mia menghadiahkan sebuah senyuman, niatnya ingin membuat Arga makin semangat. Eh, Arga malah makin lemas dan membuatnya enggan meninggalkan gadisnya itu. Sayang jika harus mengganti senyuman Mia dengan senyuman Bu Pilis, dosen genit penggemar bedak.
“Pasti. Take care, Mi,” Arga meneguk sedikit jusnya untuk menghilangkan rasa sedihnya lalu beranjak meninggalkan Mia. Arga berharap tidak ada laki-laki lain yang menemani Mia duduk di sana. Berhadapan dengan gadisnya. Menatap hangat mata kesayangannya itu.
                                                            ***
Mia melamun sendiri di depan kelas terakhirnya sore itu. Mia sama sekali tidak berminat untuk pulang. Entah kenapa seolah ada bisikan yang membuatnya untuk tetap diam di sana menunggu seseorang entah siapa akan datang menemuinya.
Benar saja, Gandhi terlihat dari kejauhan datang ke arah Mia dengan senyum mautnya. Dia benar-benar manis.
“Belum pulang?” tanya Gandhi menghadap ke arah Mia. Kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana.
“Belum ingin,” jawab Mia gugup. Gandhi lalu duduk di sebelah Mia sambil bersenandung kecil. Ada kenyamanan tersendiri buat Mia saat Gandhi ada di dekatnya. Kenyamanan misterius.
“Kakak sendiri juga belum pulang? Ada apa?” Mia memandang Gandhi ingin tau.
“Aku sedang bingung. Gantari, calon istriku ulang tahun. Aku bingung mau membelikan dia kado apa.”
Mia tentu saja terkejut. Gandhi, yang terkenal cool dan jarang bergaul dengan orang banyak, malah sudah mempunyai calon istri? Ada kebahagiaan di hati Mia saat mengetahui Gandhi sudah memiliki calon istri.
“Belikan barang yag dia butuhkan,” jawab Mia.
“Dia sudah memiliki semua yang dia butuhkan. Mau menemaniku ke Mall membeli kado?” Gandhi beranjak sambil mengulurkan tangan ke Mia. Dengan senang hati Mia menyambut uluran tangan Gandhi. Malaikat bersuara emas.
Dengan sedikit pemaksaan, Mia akhirnya mau meninggalkan si Bettist di kampus dan akan di antar ke rumah oleh sopir rumah Gandhi. Gandhi dan Mia sendiri akan menaiki motor ninja hitamnya Gandhi.
Mia merasakan kehangatan Gandhi sebagai seorang kakak saat mereka berjalan bergandengan tangan di Mall. Mia merasa bahwa Gandhi tidak semisterius biasanya.
Akhirnya, mereka memasuki sebuah toko perhiasan. Mia menunjuk sebuah kalung emas putih denga liontin berbentuk sangar burung. Manis sekali.
“Ini, pasti calon Kak Gandhi akan suka. Liat, deh,” Mia meminta tolong seorang penjaga toko itu membiarkan Mia menyentuh kalung antik itu. Gandhi tersenyum saat melihat pilihan Mia. Selera Mia, memang sama seperti selera Kinantan. Kinantan pernah memakai sebuah kalung berbentuk burung hantu. Kinantan begitu bangga dengan kalung antik miliknya itu.
“Kamu coba, ya,” Gandhi meraih kalung itu begitu saja dan mengalungkan kalung manis itu di leher jenjang Mia. Tentu saja jantung Mia berdetak sangat kencang. “Ya, kalung itu memang cantik. Terimakasih sudah memilihkannya untuk Gantari,” kata Gandhi sambil memandang Mia.
Gandhi segera membayar kalung itu yag ternyata harganya cukup fantastis. Mia cepat-cepat melepaskan kalung itu dan memberikannya pada petugas toko untuk dibungkus.
Tiba-tiba..
“Oh, jadi ini kelakuanmu, sahabat?” tiba-tiba terdengar suara yang amat sangat dikenali Mia. Sosok Arga kini ada di hadapannya. Wajahnya merah padam menandakan dia sangat marah.
“Apa maksudmu?” tanya Gandhi tetap tenang.
“Ah, omong kosong kamu!” sebuah pukulan mendarat di pipi Gandhi. Kontan Mia berteriak saat Arga melayangkan pukulan itu.
“Cukup!” teriak Mia berdiri di tengah-tengah antara Gandhi dan Arga dengan berlinangan air mata.
“Gue nggak nyangka, setelah Kinantan Elo masih mau ngerebut Mia dari gue? Lo pikir gue bakalan ikhlasin Mia gitu aja?”
“Kak Arga, stop! Mia mohon stop!” Mia merentangakan tangannya agar Arga tidak memukul Gandhi lagi. “Mia mohon stop, Kak.. Mia mohon..” Mia begitu ketakutan hingga dia terjatuh sangat lemah. Wajahnya basah oleh air mata. Arga dengan sigap menangkap tubuh mungil Mia yang mulai tidak sadarkan diri. 
 ***
bersambung...

Jangan lupa tinggalkan komentar di bawah :) Tetap tunggu kelanjutannya, ya. Terima kasih.

Komentar

Postingan Populer