Cerbung : Karena Terbiasa (Part VI)
Cerita sebelumnya bisa dibaca di sini.
***
Jangan lupa tinggalkan komentar di bawah :) Tetap tunggu kelanjutannya, ya. Terima kasih.
Karena Terbiasa (Part VI)
(Dyar Ayu Budi Kusuma)
Mia sedang duduk santai
di kantin kampus ketika tiba-tiba sosok Arga muncul dengan senyumannya yang
menghangatkan Mia. Terakhir melihat Arga, 2 hari yang lalu. Kumis tipis masih
menghiasi atas bibirnya. Mia suka berlama-lama menatap ketampanan alami Arga.
“Halo,” sapa Arga
seperti biasa, tidak pernah pelit senyum.
“Halo juga, Ga,” sambut
Mia ceria. Arga selalu merindukan suara Mia yang ceria, seolah tanpa beban
berat menggantung hidupnya. Senyumnya, lesung pipinya, matanya, semua itu bisa
membuat Arga langsung jatuh cinta.
“Aku punya sesuatu buat
kamu, semoga bermanfaat.” Arga menyerahkan sebuah plastik dengan lebel sebuah
toko buku ternama.
“Boleh dibuka?”
“Tentu.”
Pelan, Mia membuka
plastik itu. Ternyata buku itu masih dibungkus kertas kado bergambar kue-kue
manis. Lalu nampaklah sebuah buku dengan judul “Gerimis di Arc de Triomphe”.
Covernya langsung membuat Mia jatuh hati.
“Semoga Mia suka sama
buku ini, buku ini bisa bikin Mia makin semangat belajar masaknya. Resepnya
jempolan,”
“Ini kan novel, Ga. Ada
resepnya, ya? Lucu deh,” Mia memeluk buku itu dengan bahagia. Belum pernah dia
merasa sebahagia itu diberi sebuah novel oleh orang lain.
“Di dalamnya kamu akan
tau tentang masakan khas Prancis, kamu bisa memasak sambil membayangkan
manisnya kota Paris. Aku punya satu,” Arga membuka tasnya dan menunjukan novel
yang sama. Laki-laki ini suka novel..
“Aku pasti bakalan
segera baca. Makasih, Arga,” refleks, Mia memegang tangan Arga penuh suka cita.
Arga merasakan tangan seseorang yang dirindukannya sejak 4 tahun lalu. Tangan
yang halus, lentik, dan menggemaskan kini ada di tangan Mia.
“Aku seneng kalau kamu
suka. Tapi, kalau kamu udah bisa masak makanan Prancis, kamu harus menjadikan
aku tester, OK?”
“Pasti! Aku akan
belajar masak, biar kamu enggak sekurus ini, biar kamu bangga punya Junior kaya
aku. Janji, deh,” Mia mengulurkan kelingkingnya, menunggu Arga mengaitkan
kelingkingnya disana. Yah, kebiasaan Mia yang seperti inilah yang khas remaja
muda. Yang dulu tidak ditemukan Arga di dalam diri Kinantan. Arga merasa jauh
lebih baik ketika mengaitkan kelingkingnya di kelingking Mia. Alam semesta
seolah mendukung Arga untuk mengatakan “Ya, dia yang aku cari,” di depan Mia.
Tapi semua itu buru-buru Arga tahan. Arga takut malah membuat Mia merasa takut,
bahkan memutuskan untuk menjauh. Arga harus pandai-pandai membuat Mia luluh.
Mia tidak gampang.
Sesaat mereka terdiam,
Arga menunggu Mia yang sedang asik sendiri dengan novel pemberiannya. Mia asik
membolak-balik halaman demi halaman novel itu, seperti tersihir. Arga
menyibukkan diri dengan segelas jus apel yang dipesannya. Minuman itu hanya
diaduk-aduk tidak berselera.
“Mia,” akhirnya Arga
membuka mulut, mengakhiri keheningan diantara mereka.
“Ya?” Mia menatap Arga
lurus ke dalam matanya. Arga seperti tertohok ditatap mata itu. Mata teduh
itu.. hangat..
“Emmh.. Aku.. Aku harus
masuk kelas sekarang. Mia mau diantar pulang atau?”
“Enggak usah ah, masih
mau di sini. Kamu masuk aja sana, keburu telat! Semangat, yah,” Mia
menghadiahkan sebuah senyuman, niatnya ingin membuat Arga makin semangat. Eh,
Arga malah makin lemas dan membuatnya enggan meninggalkan gadisnya itu. Sayang
jika harus mengganti senyuman Mia dengan senyuman Bu Pilis, dosen genit
penggemar bedak.
“Pasti. Take care, Mi,”
Arga meneguk sedikit jusnya untuk menghilangkan rasa sedihnya lalu beranjak
meninggalkan Mia. Arga berharap tidak ada laki-laki lain yang menemani Mia
duduk di sana. Berhadapan dengan gadisnya. Menatap hangat mata kesayangannya
itu.
Mia melamun sendiri di
depan kelas terakhirnya sore itu. Mia sama sekali tidak berminat untuk pulang. Entah
kenapa seolah ada bisikan yang membuatnya untuk tetap diam di sana menunggu
seseorang entah siapa akan datang menemuinya.
Benar saja, Gandhi
terlihat dari kejauhan datang ke arah Mia dengan senyum mautnya. Dia benar-benar
manis.
“Belum pulang?” tanya
Gandhi menghadap ke arah Mia. Kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana.
“Belum ingin,” jawab
Mia gugup. Gandhi lalu duduk di sebelah Mia sambil bersenandung kecil. Ada kenyamanan
tersendiri buat Mia saat Gandhi ada di dekatnya. Kenyamanan misterius.
“Kakak sendiri juga
belum pulang? Ada apa?” Mia memandang Gandhi ingin tau.
“Aku sedang bingung. Gantari,
calon istriku ulang tahun. Aku bingung mau membelikan dia kado apa.”
Mia tentu saja
terkejut. Gandhi, yang terkenal cool dan jarang bergaul dengan orang banyak,
malah sudah mempunyai calon istri? Ada kebahagiaan di hati Mia saat mengetahui
Gandhi sudah memiliki calon istri.
“Belikan barang yag dia
butuhkan,” jawab Mia.
“Dia sudah memiliki
semua yang dia butuhkan. Mau menemaniku ke Mall membeli kado?” Gandhi beranjak
sambil mengulurkan tangan ke Mia. Dengan senang hati Mia menyambut uluran
tangan Gandhi. Malaikat bersuara emas.
Dengan sedikit
pemaksaan, Mia akhirnya mau meninggalkan si Bettist di kampus dan akan di antar
ke rumah oleh sopir rumah Gandhi. Gandhi dan Mia sendiri akan menaiki motor
ninja hitamnya Gandhi.
Mia merasakan
kehangatan Gandhi sebagai seorang kakak saat mereka berjalan bergandengan
tangan di Mall. Mia merasa bahwa Gandhi tidak semisterius biasanya.
Akhirnya, mereka
memasuki sebuah toko perhiasan. Mia menunjuk sebuah kalung emas putih denga
liontin berbentuk sangar burung. Manis sekali.
“Ini, pasti calon Kak
Gandhi akan suka. Liat, deh,” Mia meminta tolong seorang penjaga toko itu
membiarkan Mia menyentuh kalung antik itu. Gandhi tersenyum saat melihat
pilihan Mia. Selera Mia, memang sama seperti selera Kinantan. Kinantan pernah
memakai sebuah kalung berbentuk burung hantu. Kinantan begitu bangga dengan
kalung antik miliknya itu.
“Kamu coba, ya,” Gandhi
meraih kalung itu begitu saja dan mengalungkan kalung manis itu di leher
jenjang Mia. Tentu saja jantung Mia berdetak sangat kencang. “Ya, kalung itu
memang cantik. Terimakasih sudah memilihkannya untuk Gantari,” kata Gandhi
sambil memandang Mia.
Gandhi segera membayar
kalung itu yag ternyata harganya cukup fantastis. Mia cepat-cepat melepaskan
kalung itu dan memberikannya pada petugas toko untuk dibungkus.
Tiba-tiba..
“Oh, jadi ini
kelakuanmu, sahabat?” tiba-tiba terdengar suara yang amat sangat dikenali Mia. Sosok
Arga kini ada di hadapannya. Wajahnya merah padam menandakan dia sangat marah.
“Apa maksudmu?” tanya
Gandhi tetap tenang.
“Ah, omong kosong kamu!”
sebuah pukulan mendarat di pipi Gandhi. Kontan Mia berteriak saat Arga
melayangkan pukulan itu.
“Cukup!” teriak Mia
berdiri di tengah-tengah antara Gandhi dan Arga dengan berlinangan air mata.
“Gue nggak nyangka,
setelah Kinantan Elo masih mau ngerebut Mia dari gue? Lo pikir gue bakalan
ikhlasin Mia gitu aja?”
“Kak Arga, stop! Mia
mohon stop!” Mia merentangakan tangannya agar Arga tidak memukul Gandhi lagi. “Mia
mohon stop, Kak.. Mia mohon..” Mia begitu ketakutan hingga dia terjatuh sangat
lemah. Wajahnya basah oleh air mata. Arga dengan sigap menangkap tubuh mungil
Mia yang mulai tidak sadarkan diri.
***
bersambung...
Jangan lupa tinggalkan komentar di bawah :) Tetap tunggu kelanjutannya, ya. Terima kasih.
Komentar
Posting Komentar
Berkatalah yang baik atau diam.