Cerbung : Karena Terbiasa

Haiii! Kali ini aku mau ngepost cerbung hasil karya sahabatku nih, Dyar Ayu. Sahabatku ini pinter banget bikin cerpen. Suatu kehormatan bagiku diminta untuk ngepost cerbungnya di blog-ku. Hehe.. Langsung aja ya, silahkan membaca. Jangan lupa tinggalkan komentar untuk menanggapi cerbung ini, supaya kedepannya lebih baik. ^^

Karena Terbiasa

Karya : Dyar Ayu Budi Kusuma 
               
                Krriiingggg.. kriiiinnggg..
            “Oh, sial,” umpat Mia keras. Matanya terus tertuju pada jendela kamar yang sudah terbuka lebar. Ini Senin! Time to back to school.
            “Mia.. bangun, Nak!” suara Maminya yang lantang membuat matanya makin terbuka lebar berusaha menerima kenyataan kalau ini Monster Day.
            “Ok, Mam.” Dengan enggan yang teramat sangat, Mia bangkit dari best couplenya (read :  kasur dengan segudang boneka sapi) dan menyambar handuk lembut kesayanganya. Setidaknya, air dingin membuatnya lebih baik.
            Selesai mandi dan berdandan sekenanya, Mia duduk di meja makan menemani sang Mami sarapan.
            “Mia, kamu pakai bedak nggak sih? Kamu ini sudah anak gadis, sudah kuliah. Dandanlah, Nak,” mata sang Mami terus memperhatikan dandanan anak gadisnya itu dengan kecewa. Sementara Mia cuek menyantap nasi goreng. Tak lama sang Papi datang sambil menyangking tas kerjanya.
            “Pi, Mia perlu beli buku baru. Bagi duit dong, Pi..” Mia memandang Papi denga muka memelas. Sang Papi langsung membuka dompetnya dan memberi Mia selembar uang seratus ribu. Wajah Mia langsung sumringah bahagia.
            “Papi baik bangeettt! Makasih, Papi!” Mia memeluk tubuh Papinya dengan sayang.
            “Kalau uangnya sisa, buat beli bedak ya, Mia!” kata Mami dengan suara memperingatkan. Mia mengerutkan kening,
            “What? Mam, uang sisa itu ditabung. Bukan malah diboros-borosin buat beli bedak. Ok?” Mia segera menghabiskan nasi goreng dan segelas susu, lalu beranjak. Mia takut kalau terlalu lama sarapan, Maminya akan memulai lagi pidato tentang “pentingnya bedak dan kawan-kawannya demi kehidupan seorang REMAJA”
            Setelah mencium pipi kedua orangtuanya, Mia berangkat ke kampus dengan motor matic kesayangannya yang ia beri nama “Bettist”.
            Tak lama, gerbang Universitas Jaya Wijaya nampak. Dengan teratur Mia memarkirkan motornya bersama deretan motor lainnya. Mia segera bergegas menuju klub Film, klub yang diikutinya di kampus, buku catatannya tertinggal disana kemarin saat mengikuti pembinaan klub.
            Ruangan klub Film ada dipojok, diantara ruangan-ruangan klub lainnya. Ruangan klub film adalah ruangan paling lebar diantara ruangan-ruangan klub yang lain dan hanya berisikan lemari majalah, TV berukuran 32’inci, dan sofa empuk panjang yang menyenangkan.
            Dari luar Mia bisa mendengar kalau suara TV di ruang klub Film menyala. Hmm.. Siapa mahasiswa malas itu yang sepagi ini ada di ruang klub untuk nonton TV?
            Seorang senior tampan menampakkan hidungnya. Dia tersenyum pada Mia sekilas.
            “Ada apa?” tanya senior itu.
            “Maaf, Kak, saya mau mencari buku saya yang tertinggal kemarin disini.” Mia menundukkan mukanya. Tak baik mencari gara-gara dengan senior, pikirnya.
            Mia lalu sibuk mencari buku catatannya itu ditumpukan majalah dan koran yang berserakan. Tidak ada. Mia lalu mencarinya dibawah DVD-DVD. Tidak ada juga.
            “Ini?” tiba-tiba senior itu memperlihatkan buku catatan dengan cover bunga-bunga. Yeah, itu milik Mia. Tidak diragukan lagi.
            “Iya, iya. Itu buku saya, terima kasih!” Mia segera mengambil alih buku catatannya itu dari tangan senior tampan tersebut.
            “Emm.. maaf, aku tidak tau buku itu ada pemiliknya. Disana tidak ada namanya, jadi aku menggambar dan menulis puisi disana. Maaf, ya,” Mia menatap seniornya dengan tatapan tidak percaya. Lalu segera Mia membuka lembar demi lembar buku itu. Memang benar, buku itu kini penuh coretan-coretan indah dengan pensil. Dan Mia menyukainya.
“Tidak apa-apa, Kak. Terimakasih atas hiasannya, saya ada kuliah sebentar lagi.” Tiba-tiba senior itu mengulurkan tangannya, mengajak Mia berkenalan.
“Gandhi. Namaku Gandhi. Jangan panggil kakak lagi.” Dengan gugup Mia menyambut uluran tangan nya dan berkata “Mia..”
Mia menghabiskan separuh waktunya di dalam kelas untuk melihat-lihat coretan indah yang ditorehkan kakak seniornya itu. Puisinya.. tak kalah dari puisi-puisi yang ada dimajalah-majalah sekolah. Mungkin Gandhi seorang mahasiswa jurusan sastra Indonesia. . .
                                                            ***
“Hey, Mia..” seseorang menepuk bahu Mia pelan. Dan Arga, senior yang menjabat sebagai ketua klub film itu tersenyum. Mukanya yang agak mirip dengan artis ganteng bernama Dimas Anggara itu benar-benar membuat Mia luluh.
“Eh, Kak Arga. Kenapa, Kak?” tanya Mia setengah grogi.
“Enggak. Cuma mau ngajakin kamu makan siang, Mi. Mau, kan?”
“Makan siang? Sama anak-anak klub yang lain ya, Kak?”
“Emh.. sebenernya enggak juga sih. Makan berdua aja.” Mia menelan ludah pelan.
“Berdua aja?”
“Iya, cantik,” Arga menyambar tangan Mia segera dan mengajaknya makan dikantin kampus. Menikmati bakso panas berdua dengan lirikan iri para senior cewe. Mia merasa sedikit “populer”.
                                                            ***
Siapa bilang cewek tomboy nggak pinter masak? Liat Mia, Minggu pagi dia sudah rajin bereksperimen membuat bolu kukus ubi ungu. Tapi, tetap repot berlebihan layaknya Mia..
“Duh… apa sih ini? Resepnya nggak kebaca deh. Mii, bantuin Mia, dong!” teriak Mia lantang dari dapur. Maminya yang sedang memberi makan ikan merasa terusik dengan teriakan Mia, lalu memberikan sebuah buku masak setebal bantal ke Mia.
“Mi, bantuin anaknya, kek.” rengek Mia lagi.
“Enggak, ah. Mami ogah bantuin Mia masak kalau Mia belum belajar dandan kaya yang Mami mau.” Mami mengambil toples keripik kentang dan pura-pura berkonsentrasi pada majalah ekonomi.
“Sejak kapan Mami suka baca majalah ekonomi?” tanya Mia ganjil. Maminya tersedak.
“Uhuk.. Mia bikin Mami kaget sih sukanya? Terserah Mamilah mau baca majalah apa.” sahut Maminya jutek. Mia mengerucutkan bibirnya sambil berusaha mengukus adonan kuenya.
Selang 30 menit, Mia sudah menyajikan sepiring kue bolu cantik denga warna keunguan. Kali ini, Mia merasa benar-benar bangga dengan masakannya.
“Mom, look!” Mia sengaja meletakkan piring penuh kue dengan bangga. Mami hanya melirik sambil berkata, “Paling juga gagal lagi. Bantat.”
“Mia ini lebih canggih daripada Mami kalau hanya masalah kue. Sok asik deh Mami.” Saat itu juga, bel rumah berbunyi nyaring. Mami beranjak dari tempat duduknya untuk membuka pintu. Agak lama Mami berbincang dengan seseorang yang entah siapa itu.
“Mia… ada yang nyariin kamu nih,” Mami berteriak dari ambang pintu.
“Siapa? Mia ogah kalau ternyata abang tukang majalah yang nagih uang majalah Papi.” sahut Mia tak kalah kerasnya.
“Bukan, Mia! Dicari.. siapa namanya? Oh, nak Arga!”
“Arga? Kak Arga ngapain?” gumam Mia setengah kaget. Lalu segera keluar rumah tanpa mempedulikan rambutnya yang kotor oleh tepung.
“Hai, Mia..” sapa Arga pelan. Yang disapa tampak kaget dengan kegantengan seniornya itu meningkat 150%. Dengan jersey Manchester United, Arga memukau Mia yang memang penggemar MU.
“Katanya, nak Arga yang ganteng ini mau ngicipin kuenya kamu, Mi.” kata Maminya sambil menyenggol lengan Mia pelan.
“Kue? Darimana kak Arga tau kalau aku bikin kue?” Mia melongo makin lebar.
“Mia, tamunya diajakin masuklah.” Mami menggandeng tangan Arga masuk ke dalam rumah dan membiarkan Mia kaget didepan pintu. 
 ***
bersambung...
 
Bagaimana? Bagus? Tunggu lanjutan berikutnya, ya! Jangan lupa tinggalkan komentar. Terima kasih.

Komentar

  1. tunggu lanjutannya buk.
    visit dan follow ya http://goglees.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Terima kasih komentarnya :)
    Aduh, jangan panggil 'buk', saya dan teman saya masih anak SMA :D
    Terus ikuti cerbung ini, ya ^^

    BalasHapus

Posting Komentar

Berkatalah yang baik atau diam.

Postingan Populer