[Cerpen] Kampanye
Halo, kamu!
Sekarang aku mau ngepost cerpen yang aku bikin buat tugas Bahasa Indonesia waktu kelas 10 dulu. Tugasnya disuruh bikin cerpen berdasar pengalaman diri sendiri. Berhubung aku terlalu nggak kreatif kalo disuruh bikin tugas untuk nilai, jadilah aku bikin cerpen asal-asalan. Tapi begitu aku bawa ke sekolah, kampretnya, temen-temen pada ngakak baca cerpenku. Penasaran? Nggak, ya? Tetep harus baca, ya! *maksa* Oh iya, cerpenku ini banyak mengandung bahasa Jawa. Ya maklum, kan cerpen pengalaman diri sendiri. Kalo nggak ngerti ya dingerti-ngertiin aja, ya. *maksa lagi* Beri komentarmu! :)
Sekarang aku mau ngepost cerpen yang aku bikin buat tugas Bahasa Indonesia waktu kelas 10 dulu. Tugasnya disuruh bikin cerpen berdasar pengalaman diri sendiri. Berhubung aku terlalu nggak kreatif kalo disuruh bikin tugas untuk nilai, jadilah aku bikin cerpen asal-asalan. Tapi begitu aku bawa ke sekolah, kampretnya, temen-temen pada ngakak baca cerpenku. Penasaran? Nggak, ya? Tetep harus baca, ya! *maksa* Oh iya, cerpenku ini banyak mengandung bahasa Jawa. Ya maklum, kan cerpen pengalaman diri sendiri. Kalo nggak ngerti ya dingerti-ngertiin aja, ya. *maksa lagi* Beri komentarmu! :)
Kampanye
Karya : Lajeng Padmaratri
Pagi ini begitu terik. Matahari tak
segan-segan membakar kulit manusia. Bahkan anginpun enggan berhembus lebih
kencang. Hanya sepoi-sepoi. Namun mayoritas orang di lapangan ini tidak mempedulikannya.
Aku duduk di teras rumahku. Kudengar riuh para
pejabat mengkampanyekan pasangan bupati-wakil bupati. Hari ini di lapangan desaku
sedang diselenggarakan kampanye pasangan calon bupati-wakil bupati dr. H. Hasto
Wardoyo, Sp.OG(K) dan Drs. H. Sutejo. Pasangan tersebut adalah calon bupati dan
wakil bupati Kulon Progo periode 2011/2016.
“Ayo, Mbak,
kita nonton ke sana!” ajak saudara sepupuku.
“Emoh,
Sa. Rame banget.”
“Halah,
Mbak, ayo to! Jarene ana artise lho.”
“Ngejako
adhimu wae kono.”
“Yo
uwis.”
Aku masih enggan turun ke lapangan. Banyaknya
orang yang ingin menonton kampanye membuatku malas berdesak-desakkan di sana.
Apalagi dengan kedatangan saudara-saudaraku ke sini membuatku betah bermain di
rumah dengan mereka. Meski ada saudaraku yang ngotot mengajakku ke lapangan,
aku tetap enggan.
Hari semakin siang. Lapangan di depan rumahku
masih penuh orang-orang. Kampanye rupanya belum usai, malah semakin ramai. Dari
kakek-kakek yang rekannya adalah pejabat yang sedang berorasi, hingga anak
kecil yang belum mengenal pejabat yang sedang berorasi, berdesakkan memadati
lapangan.
Kampanye calon pejabat memang menguntungkan
masyarakat. Menguntungkan bagi mereka yang menjajakan dagangannya di lokasi
kampanye, karena pasti lokasi itu dipadati oleh warga yang biasanya akan
membeli sesuatu untuk mengisi perut mereka sembari mendengarkan orasi. Juga
menguntungkan bagi mereka yang diberi amplop agar menyoblos pasangan yang
sedang ‘bersedekah’ tersebut, meski tidak semua yang diberi amplop akan
benar-benar memilih pasangan tersebut.
Kampanye kali ini diikuti oleh Partai PAN,
PDIP, dan PPP. Ketiga partai tersebut berkoalisi untuk membantu pasangan
Hasto-Tejo agar memenangkan Pilkada Kulon Progo dan menjadi bupati dan wakil
bupati Kulon Progo periode 2011/2016. Poster-poster, stiker-stiker, dan spanduk
yang bertuliskan arahan untuk menyoblos pasangan ini menghiasi setiap sudut
lokasi kampanye. Begitu juga bendera-bendera dari masing-masing partai yang
berkoalisi melambai-lambai ditiup angin di sekeliling lapangan. Namun ada satu
hal yang membuatku heran. Kulihat bendera suporter klub sepakbola Indonesia
ikut berkibar di antara masyarakat yang menonton kampanye. Ini kampanye pejabat
atau pertandingan sepakbola? Mentang-mentang lokasi kampanye ada di lapangan
lalu mereka turut membawa bendera suporter klub sepakbola begitu?
Nenekku berkata padaku kalau rumahku akan menjadi
tempat istirahat bagi pejabat yang berkampanye. Nenekku juga berkata bahwa ada
artis yang berkampanye yang turut beristirahat di rumah nenekku. “Mengko aku difoto karo Eko Patrio yo!” tambah nenekku.
“Ayo coblos nomor empat!” kudengar suara pejabat
berorasi.
“Kaki kursi ada berapa? Betul, empat! Kalo
tiga bisa enggak? Enggak bisa. Bisanya empat. Jadi, coblos nomor empat!” teriak
pejabat tadi diakhiri tepuk tangan yang meriah.
Lelah bermain bersama saudara membuat perut
kami merintih minta diisi. Makan siang adalah pilihan yang tepat. Kami lahap
apa saja yang ada di meja makan. Seusai makan siang aku bertugas mencuci piring
kotor. Sembari mencuci piringpun aku masih bisa mendengar suara ajakan pejabat
untuk mencoblos nomor urut empat.
Lalu tiba-tiba kudengar suara saudaraku
memanggilku.
“Mbak!!”
“Ana apa
to? Mreneo! Aku lagi ngasahi.”
“Kae
ana Eko Patrio, Mbak!”
“Ket mau
Eko Patrio cen melu kampanye, Sa.”
“Eko Patrio mrene, mbak!”
Sontak aku berhenti mencuci piring. Tiba-tiba
kudengar suara orang asing.
“Permisi. Ini Mas Eko Patrio mau numpang ke
kamar mandi, ya,” kata seorang asisten Eko Patrio. Di belakangnya turut serta
Eko Patrio. Aku pun speechless melihat
Eko Patrio lewat di depan mata. Aku kelihatan agak norak ya..
Dengan keadaan tanganku yang masih basah dan
cucian piring yang belum selesai, aku tidak bisa mengambil foto nenekku dengan
Eko Patrio. Lalu aku berteriak menyuruh adikku agar mengambil foto nenekku
dengan Eko Patrio. Selesai mencuci piring, aku segera mencari adikku.
“Wis
tokfoto simbah mau?”
“Wis
difotokke karo ibu-ibu kui mau. Iki deloken hasile.”
Kulihat foto di ponsel adikku. Foto nenekku
dan Eko Patrio. Tapi tunggu dulu.. Di foto tersebut, Eko Patrio diapit oleh dua
orang. Orang di sebelah kiri adalah nenekku. Namun orang di sebelah kanan tidak
tampak wajahnya, hanya tampak separuh bahunya.
“Kuwi
simbah kakung melu foto tapi ra katut, ming katut pundhak tok. Mbuh kuwi sing
njepret ki ora dong,” kata adikku sambil mengumpat.
Rupanya, kakekku ikut berfoto dengan Eko
Patrio bersama nenekku. Namun entah bagaimana, ibu-ibu yang mengambilkan gambar
tadi tidak menyertakan kakekku dalam fotonya. Akhirnya kakekku hanya tampak
bahu kirinya saja. Wajahnya tak tampak. Padahal, di foto, wajah nenekku berseri
di samping Eko Patrio. Bila wajah kakekku turut serta dalam foto tersebut, aku
yakin, wajah kakekku akan berseri juga. Kasihan kakekku..
****
Komentar
Posting Komentar
Berkatalah yang baik atau diam.