[Cerpen] Cokelat Payung
COKELAT
PAYUNG
Karya
: Lajeng Padmaratri
Aku berjalan melewati koridor menuju
kelasku. Bersama sebagian besar murid di SMA-ku, kami berbondong-bondong
berjalan cepat menuju kelas masing-masing. Hari ini adalah hari Senin, jadi aku
buru-buru menuju kelas untuk meletakkan tasku untuk mengikuti Upacara Bendera
di lapangan sekolah.
“Mala! Akhirnya datang juga! Kukira
kamu telat,” sapa Keyna dengan senyum. Ia telah duduk di bangku barisan kedua
dari meja guru.
“Hai, Key!” Aku nyengir lebar.
Keyna balas nyengir. Kedua matanya
hampir hilang karena ini, namun digantikan oleh munculnya dua lesung pipi manis
di pipinya. Rambutnya yang lurus terurai di punggungnya. Aku pernah curiga dia
orang Cina -walaupun kulitnya tidak seputih orang Cina- namun dia selalu bilang
tidak. Jangan menilai orang dari luarnya,
katanya saat pertama kutanyakan hal itu padanya.
Aku mengenal Keyna saat hari pertama
masuk SMA. Saat itu hari Senin dan juga hari pertama MOS. Sialnya, aku menjadi
bulan-bulanan senior karena tidak membawa salah satu perlengkapan untuk MOS.
Senior tak henti-hentinya menyuruhku ke depan barisan untuk sekadar menyuruhku
berdiri menghadap matahari, menghukumku, atau yang lebih parah mempermalukanku.
Yah, dihukum menurutku lebih baik daripada dipermalukan..
Sampai tiba saatnya kado silang.
Kado silang harus dibungkus dengan kertas koran agar tidak terlalu ketahuan
siapa pengirimnya. Di dalamnya, kita harus mengisi dengan makanan kecil seharga
lima ribu rupiah. Berhubung aku adalah orang yang ingatannya sudah seperti
nenekku, aku lupa mempersiapkan kado silang ini pada hari sebelumnya. Alhasil
pagi-pagi sekali sebelum MOS aku mampir ke minimarket dan membeli makanan
seadanya dan aku bungkus dengan koran seadanya pula.
Sekarang di depanku tergeletak
sebuah bungkusan kado silang yang dibungkus amat rapi –yah, jauh lebih rapi
dengan bungkusanku yang tak berbentuk- setelah senior membagi kado silang
secara acak. Kubuka kertas korannya perlahan menurut cara si pembungkus
membungkusnya. Aku menghargai hasil kerjanya, jadi aku tak ingin bungkusnya
sampai rusak saat aku membukanya. Kubuka kardusnya, kuintip sedikit, dan aku
terperangah. Cokelat payung!! Aku suka sekali cokelat ini. Lalu kubuka kardus
itu lebar-lebar dengan cepat. Di sana ada juga sekitar dua atau tiga cokelat
ayam jago, sebungkus permen cicak, serenteng permen karet Lotte, sebungkus Tini-Wini-Biti,
dan sebungkus wafer Superman. Aku melongo selama beberapa saat melihat jajanan
masa kecilku dulu, hingga cowok di sebelahku bersendawa, rupanya ia telah
menghabiskan makanan kado silangnya –bahkan sebelum aku menyentuh makananku.
Siapa pemilik kado silang ini sebelumnya, ya? Bagaimana ia bisa mendapatkan
jajanan-jajanan ini, yang notabene adalah kesukaanku saat kecil?
Tiba-tiba seorang senior mendekat
padaku, mengecek satu persatu kado seakan mengecek jika ada yang memberi minuman
sachet. Ia juga terperangah. “Wow! Cokelat payung dan permen cicak! Ini kan
jajanan waktu kecil. Siapa yang membungkusnya? Angkat tangan!” Kakak seniorku
itu menatap juniornya satu persatu. Seorang gadis bermata sipit dan berambut
lurus beberapa baris di depanku mengangkat tangan. Seniorku melihatnya dan
tersenyum. “Kreatif banget sih, kamu! Bagus! Kamu bebas hukuman hari ini,” kata
kakak seniorku yang cantik disambut huu-huu dari teman-teman baruku yang lain.
“Namanya siapa?” tanya seniorku lagi. “Keyna,” jawab gadis yang memberiku kado
tadi. Sejak hari itulah aku menerornya dengan terus bertanya di mana ia
mendapat makanan-makanan itu.
“Ke lapangan, yuk, Mal?” suara Keyna
membuyarkan lamunanku tentang perkenalan kami. “Revan udah di sana loh, tuh
tasnya udah ada.” Aku melirik bangkunya. Benar! Tas milik Revan sudah ada di
atas kursinya. Segera saja kutarik Keyna menuju lapangan sekolah.
Mataku jelalatan mencari Revan di
lapangan sekolah yang penuh murid dari kelas satu sampai kelas tiga meski bel
belum berbunyi. Tak susah menemukan sosoknya. Badannya yang tinggi tegap hasil
latihan futsal, rambutnya yang dipotong pendek rapi, kulitnya yang gelap manis,
serta senyumnya yang mempesona mampu meluluhlantakkan hati seluruh wanita di
sekolah ini. Sejak hari pertama masuk SMA pula aku sudah kepincut dengannya.
Yah, mungkin seluruh cewek angkatanku –dan mungkin juga seniorku- juga kepincut
padanya. Berkat Keyna, yang ternyata teman SMP Revan dulu, aku jadi bisa
mengenalnya lebih dekat –menurutku sih. Mungkin karena telah 3 tahun menatap
wajah Revan dengan kenyang, maka Keyna tidak gila-gila amat jika Revan berada
di sekitarnya.
“Mal, besok Revan ultah loh,” Keyna
menyenggol tanganku, seakan mencegahku meneteskan liur jika kelamaan menatap
Revan.
“Iya, Keyna! Aku ingat. Nih, aku
bikin pengingat di handphone-ku,” aku
menunjuk kalender di ponselku. “Kasih kado apa, ya?” Aku yakin, besok pasti
Revan kebanjiran kado dari seluruh fansnya.
“Besok pasti dia kebanjiran hadiah,”
kata Keyna. Aku dan Keyna satu pikiran. Keyna melanjutkan, “Tapi waktu SMP dulu
dia nggak sekeren ini. Nggak begitu banyak yang naksir.”
“Oh, ya? Kamu nggak naksir, Key?”
godaku.
Keyna tersenyum. “Sempet, sih. Tapi
buat kamu aja deh,” Mata Keyna bersinar jenaka.
DERRRR...
Petir sahut menyahut. Hujan
rintik-rintik menjatuhi kepalaku yang baru saja keluar kelas. Kukeluarkan
payung lipat dari dalam tasku –aku selalu sedia payung berhubung ini musim
hujan. Dengan tangan kiri –tangan kanan pegang payung-, kupeluk sebuah bungkusan
kecil. Inilah kado untuk Revan. Aku berjalan menuju gerbang sekolah. Berniat
menunggunya di sana.
Kemarin adalah hari ulang tahun
Revan. Ya, aku sengaja terlambat memberinya kado. Kemarin Revan telah
dipusingkan dengan bertumpuk-tumpuk kado di bangkunya, jadi aku berniat
memberinya sekarang, secara langsung, supaya lebih berkesan. Romantis, kan?
Aku tersenyum melirik bungkusan
kecil di dekapanku. Isinya cokelat payung. Itu ideku, yah meskipun aku mencuri
ide Keyna saat MOS, namun Keyna menyetujuinya dengan sangat.
“Setuju, Mal! Kasih yang banyak!
Beli di tokoku aja,” katanya waktu aku mengutarakan ideku. Lalu ia
senyam-senyum gaje.
Sehari setelah MOS itu, Keyna
mengajakku ke rumahnya. Di depan rumah Keyna, terdapat sebuah toko yang rupanya
menjual jajanan masa kecil. Mengaku sajalah kamu orang Cina, Key, orang tuamu
saja punya toko, gumamku dalam hati kala itu. Sejak hari itu pula, aku menjadi
pelanggan tetap Keyna. “Jangan bilang siapa-siapa kalo aku yang punya toko ya,
Mal, aku males jualan di sekolah,” katanya saat itu, tepat saat aku berniat
untuk mengumumkanya pada teman-teman sekelas.
DEEERRR.. BRESSS...
Hujan bertambah deras. Aku
merapatkan diriku ke dinding gapura.
“Eh..” kata seseorang di belakangku.
Rupanya aku tidak sengaja mendorongnya ke belakang. Aku berbalik.
Deg! Revan!
“Eh, Mala. Maaf ya,” Revan tersenyum
padaku lalu bergeser ke sebelahku. Aku terpaku. “Hujannya deres banget, ya, Mal.
Duh, mana nggak ada ojek lewat. Gimana pulangnya, ya?”
Satu hal lagi yang membuatku
tertarik pada Revan. Walaupun ia orang yang sangat mampu, ia memilih naik ojek
atau angkutan umum untuk ke sekolah. Sekarang aku berdoa, agar tidak ada ojek
atau angkot lewat, supaya dia lebih lama di sini, supaya aku bisa berduaan.. Aaaaaaa!
Gila!
“Mal?” Revan menatapku. Tangannya melambai-lambai
di depan mukaku. Seketika aku tersadar. Film yang sedang kubuat di otakku buyar.
“Ya, Van?” Revan masih melongo
menatapku. Aku tidak tahan lagi ditatap begitu. Kusodorkan bungkusan kecil dari
dekapanku kepadanya. “Selamat ulang tahun!” Aku tersenyum. “Maaf, ya,
terlambat.”
Revan menerima pemberianku.
Ditatapnya bungkusan itu dengan senyum. “Makasih, ya, Mal.” Lalu mulai
dibukanya kado dariku.
“Wah, cokelat payung! Aku suka
banget sama makanan ini,” Revan berseru girang menatap isi kadoku. Ia nyengir
padaku. Aku speechless. Jadi dia suka
cokelat payung, pikirku, kok sama kaya aku, jangan-jangan aku jodoh Revan,
otaku mulai ngaco.
“Coba aku bisa pakai payung ini, ya!
Aku pasti bisa pulang sekarang. Hahaha..” Revan mulai membuka satu cokelat lalu
melahapnya.
“Pulang bareng aku aja, yuk. Aku
bawa payung ini,” kataku sambil menunjuk payung yang kupegang. Kemudian aku
mengutuki diriku sendiri setelah mengatakan itu. Entah setan apa yang
merasukiku sampai aku berani mengungkapkannya. Rumahku dan Revan memang searah.
Jaraknya dari sekolah pun lumayan dekat. Aku selalu memilih berjalan kaki,
sedangkan Revan selalu naik angkutan umum.
“Beneran? Ya udah, yuk!” Revan
memasukkan kado dariku ke tasnya. Lalu ia merebut payungku dari genggamanku.
Tangan kami bersentuhan, aliran lsitrik seakan menjalari seluruh tubuhku.
Ia mulai berjalan. Aku mengikutinya.
Untung hujan sudah tidak terlalu deras. Aku berjalan di sisi Revan yang membawa
payung diikuti tatapan cemburu seluruh gadis di gerbang sekolah. Aku merasa
menang!
“Aku suka banget cokelat payung. Itu
bikin inget jaman kecil. Aku langganan di Keyna. Kamu tau, kan, dia jualan
makanan jaman dulu gitu?” tanya Revan.
Apa? Jadi Revan tahu Keyna yang
punya toko itu? Kenapa Keyna tidak bilang? Katanya aku tidak boleh memberi tahu
siapapun kalau dia jualan makanan jaman kecil dulu! Jadi Keyna juga tahu kalau
Revan suka cokelat payung? Bahkan dia langganan! Ah, sialan si Keyna! Awas aja
besok di sekolah!
“Mal? Kamu kedinginan, ya? Kok
diem?” Revan menatapku lagi.
Ah, biarkan saja. Lebih baik kulupakan
sejenak perihal Keyna yang menyebalkan itu. Yang penting sekarang hanya aku dan
Revan. Aaaaa... Aku berteriak dalam hati. Senyumku mengembang. Rasanya aku
ingin diam sepanjang jalan supaya Revan terus menatapku. J
Komentar
Posting Komentar
Berkatalah yang baik atau diam.