Perkumpulan Anak Luar Nikah: Tentang Identitas dan Perlawanan
Di negeri ini, orang sering memalsukan ijazah maupun sertifikat demi mendapatkan jabatan tertentu atau naik status sosial. Tapi, bagaimana jika yang dipalsukan adalah akta kelahiran? Tidak lazim, tetapi mungkin bisa terjadi jika seseorang mengalami ketidakadilan atau diskriminasi.
Dalam novelnya yang berjudul “Perkumpulan Anak Luar Nikah” yang diterbitkan Noura Books pada 2023, Grace Tioso menulis kisah tentang bagaimana selembar akta kelahiran bisa menjadi batu sandungan dalam hidup seseorang. Ketika akhirnya praktik pemalsuan akta kelahiran terjadi, tindakan itu menjadi cara bertahan hidup di tengah sistem yang tidak adil terhadap minoritas.
Tokoh utamanya, Martha Goenawan, adalah seseorang dengan masa lalu yang berkelindan erat dengan kondisi politik dan stigma sosial. Ketika sebuah jejak digital lama membongkar bahwa ia pernah memalsukan akta kelahiran demi lanjut kuliah dengan beasiswa, hidupnya pun jungkir balik. Ia yang sudah hidup nyaman di negeri orang kemudian harus menghadapi sejumlah pengadilan hingga reputasinya dipertaruhkan.
Dalam novel ini, langkah Martha memalsukan akta kelahirannya menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang tidak adil. Bukan seperti pemalsuan ijazah yang seringnya demi ambisi diri, pemalsuan akta kelahiran menjadi upaya untuk “menulis ulang” identitas agar bisa diterima masyarakat. Dari sinilah pembaca mulai memahami bahwa pemalsuan akta bukan semata tindakan pribadi, melainkan refleksi dari sistem sosial yang cacat.
Melalui kisah Martha, Grace mengajak pembaca menelusuri kehidupan komunitas Tionghoa di Indonesia. Ternyata ada sejarah panjang bagaimana diskriminasi terhadap kaum ini terus berlangsung, dan bahkan dilestarikan. Ia menyingkap bagaimana diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa tidak pernah benar-benar hilang, hanya berganti bentuk, dari hukum hingga dokumen sipil.
Bagaimana bisa seseorang yang tinggal generasi-demi generasi di negeri ini, tak pernah keluar negeri, tetapi dianggap warga negara asing bahkan stateless, lalu anak-anak mereka dicap “anak luar nikah”? Seolah-olah sistem negara menolak kebenaran, padahal masyarakatnya sudah menuntut kejujuran.
Cara bertutur Grace mampu membawa pembaca menghabiskan lembar demi lembar seolah kehausan. Apa yang terjadi pada Martha selanjutnya? Apa yang ia atau orang terdekatnya alami di masa lalu? Alurnya campuran maju-mundur, sehingga membawa pembaca memahami peristiwa masa kini dengan konteks masa lalu.
Uniknya, Grace bisa membawa cerita tentang masalah hukum dan persoalan birokrasi yang acakadut lalu ditarik ke persoalan rumah tangga. Konflik suami-istri yang ternyata juga turut menyulut bara api yang tersembunyi selama ini.
Perkumpulan Anak Luar Nikah bukan kisah tentang aib, melainkan gambaran seseorang menuntut pengakuan atas identitasnya yang sebenarnya. Novel ini menjadi sarana refleksi sekaligus empati bahwa identitas manusia tidak bisa hanya ditentukan oleh selembar dokumen. Meski di beberapa bagian terasa seperti membaca arsip sejarah, namun novel ini berhasil menyeimbangkan riset dan emosi yang manusiawi.
Apresiasi setinggi-tingginya untuk penulis yang telah menghadirkan isu sosial yang amat jarang disentuh dalam fiksi Indonesia. Novel ini pantas dibaca siapa saja, terutama jika pembaca berasal dari golongan mayoritas.



Komentar
Posting Komentar
Berkatalah yang baik atau diam.