Kembali Baca Buku Setelah Reading Slump Lima Tahun



Sejak masih duduk di bangku sekolah, mengunjungi perpustakaan adalah aktivitas favorit saya. Sebagai kaum mendang-mending yang belum mampu untuk selalu membeli buku yang saya inginkan, maka salah satu cara untuk tetap bisa membaca novel dari para penulis incaran saya adalah meminjamnya dari perpustakaan, baik itu di sekolah maupun perpustakaan umum di dekat kantor kabupaten.

Saya ingat betul melalap habis seri Tetralogi Buru yang terkenal itu setelah menemukannya berjejer di salah satu rak di ruang khusus koleksi sastra. Saya juga tenggelam dalam 4 buku awal seri Supernova karya Dee Lestari yang saya pinjam dari sana dan merasa amat takjub menyadari ada penulis Indonesia yang bisa menuliskan fiksi ilmiah secemerlang itu. Bahkan, beberapa buku Okky Madasari yang mengubah cara pandang saya terhadap kondisi sosial dan politik Indonesia saya pinjam dari perpustakaan daerah! Betapa saya selalu terkenang dengan periode saya rajin membaca puluhan buku-buku meski hasil pinjam itu.

Kemudian, tanpa bisa ditahan, negara api menyerang. Saya jadi sok sibuk setelah jadi anak magang dan skripsian. Rekreasi baca buku? Duh, saya tidak ada waktu. Apalagi, setelah benar-benar terjun bekerja, hobinya cuma beli saja karena merasa punya duit, tapi tidak pernah dibaca. Padahal, saya kerja di media massa—yang artinya saya hidup di dunia kata-kata setiap harinya. Nyatanya, saya merasa kewalahan dengan luapan informasi yang membanjiri saya setiap harinya, hingga membuat saya kesulitan menyempatkan waktu untuk duduk diam dan membaca buku dalam keheningan. Saya kelelahan membaca banyak hal untuk keperluan menulis, akan tetapi jarang sekali benar-benar memahaminya karena tuntutan waktu yang sempit. 

Mungkin kamu juga merasakannya. Kita mengamini bahwa membaca buku itu bagus. Itu adalah sesuatu yang memang harus kita lakukan. Akan tetapi, bersungguh-sungguh duduk dan membaca buku selama 5 menit? Agaknya hal itu tidak mudah dipraktikkan.

Saya jadi merasa kondisi itu betul-betul ironi. Ternyata ada orang yang sehari-harinya menulis, tapi tidak sempat membaca buku.

Di negara kita ini, orang yang secara reguler baca buku itu sudah sangat sedikit. Cuma 1 dari 1000 orang menurut UNESCO. Sudah gitu, ternyata kita kadang juga tidak begitu paham apa yang kita baca. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti pernah bilang pada April 2025, bahwa 75% remaja usia 15 tahun di Indonesia itu bisa membaca, tetapi tidak memahami isi bacaannya, sesuai hasil studi PISA 2022. Itu artinya kita tidak hanya membaca lebih sedikit buku, melainkan juga kehilangan kemampuan untuk berpikir mendalam, berefleksi, dan punya rasa ingin tahu.

Yah, tidak mengejutkan juga sih, karena di industri media massa pun saat ini kecepatan lebih dihargai dibandingkan kedalamannya.

Setelah saya hitung, ternyata hampir 5 tahun saya kena reading slump. Istilah itu menggambarkan kondisi ketika seorang penggemar buku kehilangan minat atau motivasi membaca dalam jangka waktu tertentu. Dalam periode itu, saya beberapa kali tetap mencoba baca buku, tapi tidak pernah selesai. Bahkan, ada satu buku yang selesai setelah tiga tahun, judulnya Red-Haired Women karya Orhan Pamuk.

Akhirnya, di tahun terakhir bekerja di media massa, saya kembali mencoba rutin baca buku. Awalnya sulit sekali mengumpulkan fokus. Apalagi, kalau sedang membaca buku-buku nonfiksi yang bagi saya lebih susah dimengerti ketimbang buku fiksi. Namun, saya berusaha keras mencari buku-buku dengan genre yang menurut saya menarik, seperti fiksi sejarah. Bagaimanapun, bagi saya, buku yang mudah dipahami adalah buku yang mengandung stori, bukan cuma teori.

Tahun 2024 kemarin, saya berhasil menyelesaikan 11 buku. Jumlah itu amat timpang jika dibandingkan 1 dekade sebelumnya, ketika saya membaca 32 buku sepanjang 2014. Meski demikian, bagi saya itu sudah merupakan suatu comeback yang cukup bagus. Tahun ini, target saya baca 20 buku. Sejauh ini, saya yakin masih on track karena sudah selesai 12 buku pada pertengahan Agustus, ada catatannya di Goodreads.

Di antara bacaan saya tahun ini, ada tiga buku yang bagi saya sangat fenomenal. Yang pertama berjudul Vegetarian karya Han Kang, lalu yang kedua yaitu Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan, dan yang terakhir Animal Farm karya Geroge Orwell. Review lengkapnya mungkin di tulisan yang berbeda saja. Yang jelas, dua dari tiga buku itu hasil pinjam! Satu pinjam teman, satu pinjam perpustakaan. Ah, ternyata saya masih kaum mendang-mending, seperti jaman sekolah dulu.

Saking lamanya tidak membaca buku, ternyata dunia perbukuan sudah jauh berubah! Ternyata sekarang banyak reviewer buku di media sosial. Beberapa di antara merekalah yang mengingatkan saya tentang serunya baca buku. Bahkan, kini wishlist buku bacaan saya makin panjang gara-gara para Bookstagram itu.

Selain itu, ada satu hal asyik yang saya ikuti tahun ini: silent reading. Kegiatan baca buku bareng-bareng di taman ini diperkenalkan oleh sahabat saya. Ternyata, seru sekali bisa ngobrolin buku yang kita baca ke hadapan orang lain, sambil di saat yang sama mendengarkan mereka bercerita tentang buku-buku yang mereka anggap menarik.

Pada akhirnya, saya tahu bahwa membaca buku tidak langsung bikin pintar maupun jadi kritis. Meski begitu, saya sungguh merindukan masa-masa tenggelam di dalam kepala orang lain lewat cerita, sehingga saya bisa meninggalkan kepala saya yang riuh ini barang sementara. Sejenak saja, saya bisa letakkan ponsel yang penuh distraksi demi merenggut kembali atensi yang sempat hilang dalam diri.

Komentar

Postingan Populer